Reporter: Agung Hidayat, Petrus Sian Edvansa | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Meski masih menjadi salah satu penyumbang terbesar, tahun lalu, industri tekstil dan garmen mengalami penurunan nilai ekspor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan, ekspor produk garmen turun 2,81% ke US$ 6,23 miliar. Padahal, tahun sebelumnya, ekspor garmen mencapai angka US$ 6,41 miliar. Namun, banyak pihak memprediksi, industri ini mampu bangkit di sepanjang tahun ini.
Prama Yudha Amdan, Executive Assistant Presiden Direktur PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) menyatakan, tahun lalu, industri garmen memang terdampak situasi politik dan ekonomi yang tidak stabil. Walhasil, menurunkan daya beli di pasar global.
Belum lagi, menurut Yudha, saingan terberat Indonesia, yakni China mulai mengalami pelambatan ekonomi. "Penurunan ini memang sudah diprediksi, bukan karena market kita yang bergejolak," terang dia.
Yudha melihat, paling tidak sampai akhir 2017 nanti industri ini masih berpeluang tumbuh. Apalagi, setelah keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Trans Pacific Partnership (TPP). Ia bilang, dengan keluarnya AS dari TPP, ada kemungkinan Indonesia bisa menambah kuota ekspor ke negeri Paman Sam tersebut. Tapi semua tergantung negosiasi kita dengan AS, mereka sampai saat ini masih memformulasikan skema yang tepat. Apakah dengan kerjasama bilateral ataukah trade agreements seperti sebelumnya, terang dia.
Senada, Sekretaris Perusahaan PT Sri Rejeki Isman Tbk, Welly Salam, menyambut positif keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Trans Pacific Partnership (TPP). Menurutnya, perdagangan ekspor tekstil ke AS selama berada di TPP hanya menguntungkan para anggota partnership tersebut. "Kalau sekarang ini menjadi lebih fair," sebut Welly kepada KONTAN, Rabu (15/3).
Emiten berkode SRIL ini memperoleh penjualan sepanjang 2016 senilai US$ 680 juta. Welly mengatakan, penjualan terbesar ditopang oleh ekspor. Sekitar 52% pendapatan SRIL adalah pasar ekspor.
Mengejar ekspor
Bagi SRIL, pasar AS tumbuh cukup signifikan, meski tidak sebesar pasar Asia. Penjualan le Asia Timur dan kawasan Asia lain, hampir 60% dari total perdagangan ekspor. Sedangkan, negara-negara Eropa ditambah AS menyumbang 18% ekspor SRIL.
Yudha berpendapat, sebenarnya, kepercayaan konsumen global terhadap produk kita sangat baik. Maka, pemerintah harus segera memanfaatkan peluang melambatnya perekonomian negeri Tiongkok untuk mengamankan industri dalam negeri. Dengan melambatnya kondisi ekonomi Negeri Panda, pemerintah seharusnya dapat memperkuat industri tekstil, terutama di hulu.
Tujuannya, agar kita mampu memasok bahan baku nasional. Selama ini, memang mayoritas bahan baku kita diimpor dari China, kata Yudha.
Ekspor memang pasar yang menggiurkan, Welly, mengatakan, perusahaannya mematok ekspor bisa menyumbang 56% dari total pendapatan SRIL pada tahun 2017. Artinya terjadi pertumbuhan antara 8% sampai 15%.
Anas Bahfen, Direktur PT Apac Citra Centertex (MYTX) juga optimistis, pasar industri tekstil dan garmen masih akan ceria. Ia memprediksi, pada tahun ini, industri tekstil bakalan tumbuh sampai 10% dibandingkan dengan tahun 2016 lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News