Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menilai bahwa penurunan daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia sudah terjadi sebelum pandemi COVID-19, tepatnya sejak penerapan China-ASEAN Free Trade Area (ACFTA).
ACFTA, yang ditandatangani pada 12 November 2017 dan mulai diimplementasikan pada 1 Agustus 2019, adalah kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dengan China.
Baca Juga: Industri Tekstil Tanggapi Kebijakan Wajib Sertifikasi Halal
"Sebelum COVID-19, industri tekstil sudah mengalami penurunan daya saing akibat ACFTA. Kita mengalami defisit perdagangan dengan China yang menguasai pasar global produk tekstil dengan keunggulan produktivitas dan daya saing tinggi," ujar Eisha kepada Kontan.co.id, Minggu (27/10).
Menurut Eisha, ketidakmampuan bersaing juga diperburuk oleh perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Situasi ini mendorong produk tekstil China membanjiri pasar Indonesia.
"Ketika terjadi perang dagang, semakin banyak produk tekstil China yang masuk ke Indonesia karena China mencari pasar baru," tambahnya.
Selain dari sisi kompetisi, Eisha menyoroti faktor biaya yang menyebabkan industri TPT Indonesia kurang kompetitif.
Baca Juga: Aspek Soroti Gelombang PHK, Mirah Sumirat Usulkan Langkah Proteksi Industri Lokal
Produksi dalam negeri memiliki biaya yang lebih tinggi akibat ketergantungan impor bahan baku, energi, dan upah tenaga kerja.
"Situasi semakin buruk selama COVID-19, di mana permintaan global menurun dan daya saing industri tekstil Indonesia belum membaik," ungkapnya.
Industri tekstil di Indonesia semakin tertekan, terlihat dari kasus PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang pada 21 Oktober.
Hingga paruh pertama 2024, penjualan Sritex tercatat sebesar US$131,73 juta, turun 21,07% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sementara rugi bersihnya berhasil ditekan 67,31% menjadi US$25,73 juta.
Baca Juga: Dominasi Pemain Lokal di Sektor TPT Tergerus Kebijakan Impor dan Rantai Pasok Global
Namun, beban utang Sritex mencapai US$1,6 miliar, dengan defisiensi modal sebesar -US$ 980,56 juta.
Nasib serupa juga dialami PT Pan Brothers Tbk (PBRX), produsen pakaian jadi terbesar kedua di Indonesia, yang turut terpukul oleh pandemi karena penurunan ekspor.
Pan Brothers saat ini berupaya merestrukturisasi utangnya dari sekitar US$325 juta menjadi US$140 juta.
Rencananya, mereka akan mengonversi sebagian utang menjadi obligasi yang dapat diubah menjadi ekuitas setelah 10 tahun, memberi pemegang obligasi kendali atas 51% saham perseroan.
Persoalan yang dihadapi Sritex dan Pan Brothers mencerminkan tantangan besar industri tekstil Indonesia yang memerlukan dukungan kebijakan untuk meningkatkan daya saing di tengah persaingan regional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News