kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ini alasan ICW kaji potensi inefisiensi pengadaan batubara PLN yang capai Rp 100 T


Kamis, 02 Juli 2020 / 18:45 WIB
Ini alasan ICW kaji potensi inefisiensi pengadaan batubara PLN yang capai Rp 100 T
ILUSTRASI. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PLN


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesian Corruption Watch (ICW) yang mengkaji adanya potensi inefisiensi bahkan potensi kerugian negara dalam pengadaan batubara bagi pembangkit listrik PT PLN (Persero). Kajian yang dirilis ICW itu menunjukkan adanya potensi inefisiensi dalam pengadaan komoditas yang mendominasi bauran energi primer PLN tersebut.

Firdaus Ilyas, penulis kajian tersebut mengungkapkan bahwa pihaknya mencatat ada potensi inefisiensi yang cukup besar dalam pengadaan batubara PLN dan anak perusahaan. Inefisiensi tersebut, katanya, bakal berdampak terhadap Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik dan berlanjut menjadi beban subsidi atau tarif listrik.

"Ujungnya membuat harga listrik yang dibayar publik atau dibayar negara sebagai beban subsidi menjadi lebih mahal," kata Firdaus saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (2/7).

Baca Juga: Dituding inefisiensi lebih dari Rp 100 triliun di pengadaan batubara, ini jawaban PLN

Dia meminta adanya pembenahan tata kelola pengadaan batubara maupun bahan bakar lainnya. Firdaus pun menuntut PLN dan pemerintah melakukan langkah-langkah konkret untuk menindaklanjuti potensi penyimpangan atau dugaan kerugian negara dalam pengelolaan listrik nasional.

"Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang, negara butuh uang banyak untuk mengatasinya," kata Firdaus yang merupakan mantan peneliti senior ICW yang saat ini sebagai peneliti korupsi sumber daya dan energi di Visi Integritas.

Asal tahu saja, kajian ICW mengungkapkan bahwa selama periode 2009 sampai 2019, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN rata-rata lebih mahal dibandingkan harga impor (CIF) China untuk batubara jenis lignit dari Indonesia. Di mana secara rata-rata sepuluh tahun terakhir, biaya pembelian batubara untuk pembangkit PLN lebih mahal Rp 225.000 per ton.

Firdaus bilang, kajian ini menelaah dari setidaknya dua hal. Pertama, dengan melihat selisih biaya pengadaan yang disebabkan oleh rantai pasok dan proses pengadaan yang tidak efisien. Kedua, melihat dari beban penggunaan dibandingkan dengan beban komponen bahan bakar di pembangkit batubara yang dioperasikan oleh anak perusahaan PLN.

Kajian ini menemukan bahwa apabila dikaitkan dengan realisasi volume pemakaian batubara pada pembangkit listrik milik PLN selama periode 2009 sampai 2019 sebesar 473.602.354 ton, maka secara agregat selisih harga pengadaan batubaranya mencapai Rp 100,378 triliun atau rata-rata per tahun terdapat selisih sebesar Rp 9,125 triliun.

Baca Juga: IESR: Pemerintah perlu evaluasi dan analisis terkait harga dan pengadaan energi PLN

Kajian ICW tersebut juga menemukan ada potensi kerugian negara pada pengadaan batubara di PLTU Suralaya. Hal ini ditemukan dengan membandingkan pengadaan batu bara di PLTU Suralaya yg dikelola oleh PT Indonesia Power (IP) dan PLTU Paiton yang dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) yang dianggap merupakan pembangkit yang sama tipenya.

Menurut Firdaus, berdasarkan kalori batu bara yang digunakan serta tingkat efisiensi penggunaan batu bara, seharusnya komponen biaya untuk bahan bakar yang dikeluarkan PLTU Suralaya lebih rendah dibandingkan PLTU Paiton. Diindikasikan adanya selisih beban komponen batubara pada PLTU Suralaya sebesar Rp 11,159 triliun selama periode 2009 - 2018.

Dengan kata lain, rata-rata setiap tahun nilai indikasi inefisiensi mencapai Rp 1,240 triliun, yang bisa disebut sebagai indikasi inefisiensi pada PLTU Suralaya.

Menurut Firdaus, kajian tersebut bersumber dari Laporan PLN, Indonesia Power dan Pembangkitan Jawa Bali. Yakni dari laporan tahunan, laporan keuangan, maupun statistik perusahaan dan prospektus, disamping penggunaan data pemerintah yang relevan.

Sebagai pembanding, imbuhnya, verifikasi dilakukan dengan data dan laporan perusahaan batubara, termasuk data perdagangan batubara dari sisi Indonesia (KESDM, Kemendag, BPS) maupun dengan data custom negara pembeli batubara Indonesia (China, India, Korea dan sebagainya).

Baca Juga: Duh, pengadaan batubara PLN 10 tahun terakhir diduga kemahalan Rp 100 triliun

Adapun China dan India menjadi sorotan lantaran kedua negara ini merupakan pasar ekspor atau pengimpor terbesar batubara dari Indonesia. "China dan India adalah (tujuan) ekspor utama batubara Indonesia, khususnya untuk pembangkit listrik. Sekarang sebagian besar PLTU Indonesia memakai batubara kalori rendah, jadi bisa di sebandingkan," sebutnya.

Firdaus pun merasa tertohok saat dalam kajiannya mendapati harga batubara sampai di stockpile yang dibeli PLN dari dalam negeri lebih mahal, dibandingkan China yang membeli batubara dari Indonesia dengan harga sampai di pelabuhan China (landed price).

"Masa PLN membeli batubara produksi Indonesia dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan China membeli dari Indonesia?," pungkas Firdaus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×