kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini deretan penyebab kenaikan harga pangan di akhir tahun


Kamis, 15 November 2018 / 16:12 WIB
Ini deretan penyebab kenaikan harga pangan di akhir tahun
ILUSTRASI. Aktivitas pasar tradisional


Reporter: Kiki Safitri | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan harga pangan di akhir tahun dinilai berpotensi terjadi di tahun 2018. Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menyebut ada beberapa komponen yang menyebabkan kenaikan harga pangan di akhir tahun.

Komponen pertama adalah ancaman inflasi yang kemungkinan terjadi di akhir tahun. Menurut Eko Listianto selaku Wakil Direktur Indef menyebut, Inflasi harga yang diatur pemerintah (administered price) dan inflasi bergejolak kerap menjadi pemicu lonjakan inflasi di Indonesia.

“Pemicu melonjaknya inflasi harga barang yang diatur pemerintah biasanya dipicu oleh kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL). Sementara inflasi barang bergejolak kerap kali terjadi ketika permintaan bahan pangan dan makanan mengalami lonjakan menghadapi lebaran, natal dan tahun baru,” kata Eko di Jakarta Selatan, Kamis (15/11).

Ketika rata-rata nilai tukar rupiah melonjak pada bulan Juli 2018 lalu Rp 14.414, inflasi turut melonjak hingga 0,41% yang merupakan angka tertinggi sepanjang Januari hingga Oktober 2018. Tahun 2018 beberapa komoditas yang dinilai menjadi pemicu inflasi adalah berasal dari volatile food.

Misalkan beras, daging ayam ras, telur ayam ras dan bumbu dapur yang diprediksi akan mendorong inflasi di akhir tahun.

“Untuk beras, memiliki polemic tersendiri, untuk harga telur ayam dan daging ayam ras sejak Mei 2018 mengalami peningkatan dan puncaknya di bulan Juli 2018 karena supply telur dan daging yang kurang, sedangkan permintaan bertambah. Untuk harga daging mengalami peningkatan, namun tidak signifikan,” jelasnya.

Memasuki November 2018, tren yang diadopsi dari tahun 2017 menunjukkan adanya kenaikan harga pangan hingga Januari awal tahun 2019. Oleh sebab itu, pemerintah diimbau melakukan antisipasi.

Selanjutnya ada masalah impor yang sejauh ini terus dilakukan pemerintah. Hal ini dinilai tidak berkesudahan untuk menutupi kebutuhan dalam negeri. Padahal, komponen pangan tersebut mampu di berdayakan di tingkat petani dalam negeri.

“Impor harus diminimalkan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan di tengah ekspor kita yang tertekan,” ujarnya.

Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus juga membenarkan kecenderungan impor Indonesia ini. Menurutnya hal ini karena kurangnya perhatian pemerintah.

“Masalah pangan di Indonesia itu selalu diobati dengan impor. Impornya komoditas seperti buah-buahan atau bijih cokelat. Padahal kita juga punya keunggulan di sini. Ini karena pemerintah fokus pajale (padi, jagung kedelai), kalau pemerintah memperhatikan, ketergantungan impor akan berkurang,” jelas Heri.

Saat ini ekspor Indonesia dinilai lebih rendah dibandingkan dengan impor. sejak 2007 neraca perdagangan hasil pertanian selalu mengalami defisit, bahkan permintaan valas turut mengguncang stabilitas rupiah.

Selain itu, masalah data pangan seperti beras yang tidak akurat di pemerintahan menjadi polemic tersendiri yang menjadi masalah pemerintah menentukan kebijakan ke depannya. Oleh sebab itu Eko berharap pemerintah bisa bersinergi untuk memastikan data yang lebih valid.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×