Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Panel World Trade Organization (WTO) terkait perdagangan biodiesel ke Uni Eropa berpeluang memperluas akses pasar untuk produk bahan bakar nabati berbasis minyak sawit (biofuel based palm oil) Indonesia. Tetapi, pemerintah dan pelaku industri kelapa sawit masih menanti respons Uni Eropa terhadap keputusan Panel WTO tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan keputusan Panel WTO menegaskan posisi Indonesia dalam memperjuangkan akses pasar yang adil bagi produk-produk unggulan nasional.
“Ini berita baik dimana Panel WTO mendukung Indonesia di dalam keputusan terkait dengan dikenakannya dumping duty biodiesel di Eropa," kata Airlangga dalam keterangan resmi yang disiarkan Sabtu (23/8/2025).
Sebagai konsekuensi dari keputusan Panel WTO tersebut, maka Uni Eropa perlu mencabut dumping yang diberikan. "Kita tinggal menunggu bagaimana Uni Eropa merespons terhadap keputusan Panel WTO tersebut,” imbuh Airlangga.
Baca Juga: Pemerintah & Gapki Sambut Putusan WTO Soal Biodiesel, Tapi Tunggu Respons Eropa
Sebagai informasi, Panel WTO telah mengeluarkan putusan yang mendukung posisi Indonesia atas sejumlah klaim utama dalam pengaduan terkait pengenaan bea masuk imbalan (countervailing duties) oleh Uni Eropa terhadap impor biodiesel asal Indonesia.
Panel WTO merekomendasikan agar Uni Eropa menyelaraskan langkah-langkahnya dengan kewajiban yang berlaku berdasarkan Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM Agreement).
Adapun, pengajuan sengketa dilakukan sejak tahun 2023 atas pengenaan bea masuk oleh Uni Eropa atas biodiesel dari negara Asia Tenggara yang tidak sejalan dengan aturan WTO. Menurut Airlangga, keputusan WTO tersebut akan menjadi katalisator bagi perkembangan komoditas andalan ekspor Indonesia.
Airlangga mengingatkan, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Sementara itu, Uni Eropa merupakan pasar penting bagi produk minyak sawit dan biodiesel Indonesia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengamini hal tersebut. Eddy turut menyambut baik keputusan Panel WTO. Dia menegaskan pelaku industri juga masih menunggu respons dari Uni Eropa.
"Gapki belum menerima salinan (putusan Panel WTO). Putusan tersebut sangat bagus. Hanya saja kami tunggu apakah Uni Eropa akan banding atau tidak," kata Eddy saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (24/8/2025).
Eddy membeberkan, Uni Eropa merupakan pasar terbesar ketiga setelah China dan India untuk ekspor produk minyak sawit Indonesia. Volume ekspor produk minyak sawit Indonesia ke Eropa mencapai sekitar 3 juta - 4 juta ton per tahun.
Baca Juga: Indonesia Menang Gugatan Biodiesel di WTO, Uni Eropa Diminta Cabut Bea Masuk
Catatan Eddy, ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa tidak signifikan secara volume. Sebab, produksi nasional lebih banyak dipasok untuk memenuhi kebutuhan mandatory terkait program biodiesel di dalam negeri.
Apalagi, Uni Eropa juga terus memangkas volume impor biodiesel. "Import biodisel memang terus menurun karena sekarang Uni Eropa memproduksi sendiri biodiesel dari used cooking oil dari rapeseed, sunflower, soy bean dan palm oil," terang Eddy.
Sekretaris Jenderal Gapki M. Hadi Sugeng Wahyudiono menambahkan bahwa secara teoritis keputusan Panel WTO ini akan membuka pasar produk biofuel based palm oil Indonesia. Sekaligus berpotensi mendongkrak ekspor ke Uni Eropa.
"Kami menyambut baik keputusan WTO tersebut, dan ini membuktikan apa yang dituduhkan Uni Eropa tidak benar. Kebijakan terkait dengan biofuel program di Indonesia tidak melanggar prinsip-prinsip perdagangan internasional sebagaimana ditetapkan oleh WTO," terang Hadi.
Hanya saja, penting untuk mencermati respons Uni Eropa terhadap berbagai sengketa terkait ekspor biofuel, seperti Renewable Energy Directive (RED) II. Menurut Hadi, sampai sekarang Uni Eropa belum melakukan penyesuaian terhadap aturan tersebut sebagaimana diputuskan oleh WTO.
Baca Juga: WTO Menangkan Indonesia di Sengketa Bea Masuk Impor Biodiesel Uni Eropa
Sementara itu, Eddy menyoroti kesepakatan Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA) yang secara praktis bakal meniadakan hambatan non-tarif. Dengan begitu, perjanjian ini diharapkan bisa mendongkrak ekspor produk sawit Indonesia ke Uni Eropa.
Tapi, Eddy mengingatkan masih ada hambatan non tarif berupa European Union Deforestation Regulation (EUDR), yang harus segera diatasi sebelum diberlakukan pada akhir Desember 2025. "Apabila sawit Indonesia tidak comply dengan aturan EUDR maka ekspor pun dapat terhambat," kata Eddy.
Eddy mendorong usaha pemerintah sebagaimana ketika Uni Eropa bisa menerima Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Termasuk pembenahan internal, terutama pada sawit rakyat melalui Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB).
Sebab, Eddy menyampaikan jika EUDR ditetapkan saat ini, maka petani sawit bakal menjadi pihak yang paling terdampak. "Kalau perusahaan jauh lebih siap, tapi perusahaan kan harus menampung buah petani. Kalau petani tidak comply maka akan berdampak kepada perusahaan yang mengolah buah petani apabila akan diekspor ke Uni Eropa," tandas Eddy.
Selanjutnya: IHSG Ada Potensi Lanjut Melemah, Cek Rekomendasi Saham BRIDanareksa (25/8)
Menarik Dibaca: IHSG Ada Potensi Lanjut Melemah, Cek Rekomendasi Saham BRIDanareksa (25/8)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News