Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
"Itu sudah merepresentasikan kurang lebih 60% rugi kurs translasi kita. Jadi kalau pemerintah dengan dukungan Komisi VII akan melakukan pembayaran, itu akan sangat membantu kami menekan rugi translasi karena ini magnitude-nya besar," jelas Emma.
Kata dia, upaya lindung nilai atau hedging yang dilakukan di pasar tidak bisa meredam persoalan ini. "Tidak ada flow-nya, tidak ada likuidity di market untuk bisa melakukan hedging memitigasi kurs currency sampai Rp 100 triliun lebih. Ini menimbulkan komposisi rugi kurang lebih 30%-40% dari kerugian kita," terangnya.
Ketiga, anjloknya harga minyak mentah (crude). Emma memberikan gambaran harga crude di awal Kuartal II sempat menyentuh US$ 19 - US$ 20 per barel. Padahal, pada Desember 2019 masih bertengger di level US$ 63 per barel.
Anjloknya harga crude berdampak signifikan terhadap margin Pertamina di segmen hulu. "Padahal margin di hulu adalah kontributor EBITDA terbesar 80% dari ini," kata Emma.
Kendati begitu, Emma meyakinkan bahwa kondisi tersebut sudah mulai membaik sejak Juni. Bahkan dengan melihat perkembangan di Juli dan Agustus, prognosa Pertamina menghitung adanya potensi sedikit meraih laba di akhir tahun nanti.
Baca Juga: Top! Pertamina dan Chandra Asri bersatu untuk bangun industri petrokimia raksasa
"Mudah-mudahan, InshaAllah di akhir Desember bisa membukukan positif, meskipun tipis. Tapi recover-nya sudah mulai kelihatan," ujar Emma.
Optimisme serupa disampaikan oleh Arifin Tasrif. Dia mengatakan, harga dan demand energi sudah mulai meningkat. Kondisi itu dapat dilihat dari harga dan demand minyak maupun batubara.
Untuk crude, misalnya, harga sudah merangkak naik hingga ke level US$ 45 per barel dari sebelumnya yang sempat jatuh ke level US$ 20 per barel. "Kita lihat tren-nya meningkat terus. Sekarang tinggal merespon demand-nya. Kami ada rasa optimisme juga di Semester II," pungkas Arifin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News