Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID -Â JAKARTA. Kerugian yang diderita PT Pertamina (Persero) menjadi sorotan Komisi VII DPR RI dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, yang digelar Rabu (26/8).
PT Pertamina (Persero) menanggung rugi US$ 767,91 juta atau sekitar Rp 11,3 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.700 per dolar Amerika Serikat. Padahal, pada paruh pertama tahun 2019 lalu, Pertamina masih meraih laba bersih sebesar US$ 659,95 juta.
Menanggapi kondisi itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengaku maklum dengan kerugian yang diderita Pertamina. Dampak dari pandemi Covid-19 menjadi alasannya.
Gara-gara Covid-19, katanya, konsumsi atau demand menurun, begitu juga dengan harga minyak mentah dan nilai kurs yang terguncang.
Baca Juga: Pertamina proyeksikan Kilang Tanjung Api-Api sebagai pelengkap Kilang Plaju
"Secara general kita memang bisa memaklumi, karena semua perusahaan terdampak. Tapi secara perhitungan, yang menghitung yang bisa mengeluarkan angkanya," sebut Arifin.
Arifin lantas meminta Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini yang hadir dalam forum tersebut untuk memberikan penjelasan kepada Komisi VII DPR RI.
Emma pun membeberkan bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh tiga faktor yang paling berdampak signifikan. "Utamanya ada 3 (penyebab kerugian), kita menyebutnya triple shock," kata Emma.
Pertama, penurunan demand. Faktor ini lah yang membedakan krisis akibat pandemi dengan krisis-krisis yang lain. Menurut Emma, saat krisis biasanya Pertamina hanya terpukul oleh dua faktor, yakni pergerakan kurs dan harga minyak mentah.
"Sekarang penurunan demand yang berdampak signifikan terhadap revenue kita. Kondisi kali ini bahkan lebih berat daripada kondisi krisis finansial," sebutnya.
Kedua, tekanan nilai kurs. Alasannya, pembukuan Pertamina secara fundamental menggunakan dolar Amerika Serikat (USD). Namun, piutang Pertamina dari pemerintah memakai Rupiah.
Padahal Pertamina memiliki piutang dari pemerintah senilai Rp 96 triliun untuk kompensasi dan sekitar Rp 13 triliun sebagai piutang subsidi.
"Itu sudah merepresentasikan kurang lebih 60% rugi kurs translasi kita. Jadi kalau pemerintah dengan dukungan Komisi VII akan melakukan pembayaran, itu akan sangat membantu kami menekan rugi translasi karena ini magnitude-nya besar," jelas Emma.
Kata dia, upaya lindung nilai atau hedging yang dilakukan di pasar tidak bisa meredam persoalan ini. "Tidak ada flow-nya, tidak ada likuidity di market untuk bisa melakukan hedging memitigasi kurs currency sampai Rp 100 triliun lebih. Ini menimbulkan komposisi rugi kurang lebih 30%-40% dari kerugian kita," terangnya.
Ketiga, anjloknya harga minyak mentah (crude). Emma memberikan gambaran harga crude di awal Kuartal II sempat menyentuh US$ 19 - US$ 20 per barel. Padahal, pada Desember 2019 masih bertengger di level US$ 63 per barel.
Anjloknya harga crude berdampak signifikan terhadap margin Pertamina di segmen hulu. "Padahal margin di hulu adalah kontributor EBITDA terbesar 80% dari ini," kata Emma.
Kendati begitu, Emma meyakinkan bahwa kondisi tersebut sudah mulai membaik sejak Juni. Bahkan dengan melihat perkembangan di Juli dan Agustus, prognosa Pertamina menghitung adanya potensi sedikit meraih laba di akhir tahun nanti.
Baca Juga: Top! Pertamina dan Chandra Asri bersatu untuk bangun industri petrokimia raksasa
"Mudah-mudahan, InshaAllah di akhir Desember bisa membukukan positif, meskipun tipis. Tapi recover-nya sudah mulai kelihatan," ujar Emma.
Optimisme serupa disampaikan oleh Arifin Tasrif. Dia mengatakan, harga dan demand energi sudah mulai meningkat. Kondisi itu dapat dilihat dari harga dan demand minyak maupun batubara.
Untuk crude, misalnya, harga sudah merangkak naik hingga ke level US$ 45 per barel dari sebelumnya yang sempat jatuh ke level US$ 20 per barel. "Kita lihat tren-nya meningkat terus. Sekarang tinggal merespon demand-nya. Kami ada rasa optimisme juga di Semester II," pungkas Arifin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News