Reporter: Mona Tobing | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Semangat pemerintah mewujudkan swasembada sapi kembali diuji melalui revisi UU No.18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Rencananya pada September ini pembahasan sudah bisa rampung di DPR.
Melalui revisi beleid akan memutuskan arah kebijakan impor bibit sapi atau sapi bakalan berdasarkan negara (country base) atau berdasarkan zona (zona base). Lalu pertanyaanya, benarkah UU ini dapat memberikan manfaat optimal bagi pelaku usaha sapi?
Head of Sales Marketing PT Santosa Agrindo Ignatius Adiwira menilai, UU tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Di satu sisi manfaat yang didapat harga tidak dikendalikan oleh satu negara yang mengimpor sapi. Plus ketersedian dan permintaan dapat lebih stabil.
Namun sisi lain UU ini punya kelemahan dalam jaminan bahwa setiap sektor atau zona yang ditetapkan dapat menjamin bahwa sapi yang dibiakkan sehat dan tidak teridentifikasi penyakit. Sebab, dalam sistem pencatatan dan pengawasan mesti diakui masih lemah.
"Indonesia belum ada sistem pencatat seperti di Australia yakni national live stock identification system. Yaitu sapi yang sejak lahir telah didaftar dan memiliki kode dan asal yang jelas," ujar Ignatius pada Selasa (2/9).
Selain itu soal jarak dan ketersedian kapal juga harus menjadi perhatian pemerintah. Karenan nantinya ujung-ujungnya akan mempengaruhi soal harga. Contohnya jika mendatangkan sapi dari Brasil apakah lebih murah daripada sapi asal Australia.
Soal optimisme Pemerintah dengan adanya aturan ini mampu meningkatkan produksi dan harapan mencapai swasembada. Ignatius menegaskan tidak ada hubungannya antara peningkatan produksi dengan aturan ini. Alasannya, meningkatkan produksi dalam negeri tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berkaca pada populasi sapi yang terus menurun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News