Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. S&P Global melaporkan Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia mencapai 53,3 pada November 2025. PMI Manufaktur kembali melaju di zona ekspansi dengan kenaikan 2,1 poin dibandingkan posisi 51,2 pada bulan Oktober 2025.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyoroti PMI Manufaktur November mencapai level paling tinggi sejak Februari 2025. Hal ini mencerminkan perbaikan kondisi operasional industri nasional yang lebih kuat dan kinerja sektor manufaktur yang solid.
Peningkatan nilai PMI Manufaktur terutama digerakkan oleh lonjakan pesanan baru yang mencapai level tertinggi dalam 27 bulan terakhir. Sebagian besar responden menyebut peningkatan jumlah pelanggan domestik sebagai faktor pendorong, sementara permintaan dari luar negeri justru menyusut cukup tajam.
Kondisi ini mendorong produsen meningkatkan produksi kembali setelah periode stagnasi, sekaligus memperbesar stok barang jadi guna mengantisipasi permintaan lanjutan. Kenaikan permintaan juga berdampak pada kapasitas kerja pabrik.
Baca Juga: Ini 26 Ruas Jalan Tol yang Bakal Menerapkan Diskon Tarif Nataru 2025/2026
Perusahaan mencatat akumulasi pekerjaan yang signifikan, tertinggi selama lebih dari empat tahun. Untuk menjaga kelancaran produksi, banyak pelaku industri menambah tenaga kerja meskipun tidak secepat bulan sebelumnya. Aktivitas pembelian bahan baku juga meningkat, sejalan dengan upaya menjaga kesiapan pasokan input di tengah pemulihan permintaan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa Kemenperin terus memperkuat fondasi industri melalui peningkatan efisiensi, integrasi rantai pasok berbasis bahan baku lokal, serta penyiapan tenaga kerja terampil. Program peningkatan kompetensi, inovasi proses, dan transformasi menuju manufaktur hijau menjadi prioritas untuk memastikan daya saing berkelanjutan.
“Di tengah perlambatan beberapa pasar ekspor utama, permintaan domestik kembali menjadi jangkar pertumbuhan. Industri kita bergerak adaptif, melakukan penyesuaian kapasitas agar tetap menjaga momentum,” kata Agus dalam rilis yang disiarkan pada Senin (1/12/2025).
Dalam catatan S&P Global, PMI Manufaktur ASEAN meningkat dari 52,7 pada Oktober menjadi 53 pada November 2025. Indonesia (53,3) berada dalam kelompok ekspansif bersama Thailand (56,8), Vietnam (53,8), Myanmar (51,4), dan Malaysia (50,1). Sedangkan Filipina berada di zona kontraksi (47,4).
Di luar kawasan, sejumlah negara besar juga mencatat ekspansi seperti India (59,2), Amerika Serikat (52,5), Australia (51,6), serta China (50,6). Kondisi tersebut menunjukkan aktivitas industri global mulai stabil, meski kecepatan pemulihannya tidak merata.
Agus memastikan Kemenperin akan terus mengikuti perkembangan indikator industri sebagai salah satu bahan masukan dalam penyusunan kebijakan. “Kami yakin sektor manufaktur tetap menjadi andalan perekonomian nasional. Prioritas kami menjaga iklim usaha yang sehat, mendorong nilai tambah, dan mengawal transformasi industri yang berkelanjutan,” ungkap Agus.
Meski begitu, Agus menegaskan bahwa Kemenperin akan lebih mengacu pada Indeks Kepercayaan Industri (IKI). Agus mengklaim bahwa IKI lebih bisa merekam dinamika industri pengolahan non-migas alias sektor manufaktur nasional.
“Capaian ini (PMI Manufaktur) tentu meningkatkan semangat kami. Meskipun hasil survei PMI bukan dasar kami dalam menentukan kebijakan. Kami tetap mengacu pada IKI, karena indikator tersebut merekam dinamika sub sektor, mengaitkan data dengan struktur industri, dan memetakan sentimen pelaku usaha dengan lebih presisi,” jelas Agus.
IKI November 2025
Kemenperin mencatat IKI bulan November 2025 juga masih berada di zona ekspansi pada level 53,45. Secara nilai, IKI November turun tipis 0,05 poin dibandingkan Oktober 2025 yang berada di posisi 53,50.
Meski melambat secara bulanan, IKI November 2025 menunjukkan perbaikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai IKI meningkat 0,50 poin dibandingkan November 2024, yang kala itu berada di level 52,95.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief menyampaikan pada bulan ini, industri manufaktur yang berorientasi ke pasar dalam negeri mengalami penguatan. Tampak dari IKI Domestik yang secara bulanan naik 0,37 poin dari 52,34 menjadi 52,71.
Sebaliknya, IKI untuk industri manufaktur yang berorientasi ekspor melambat 0,17 poin dari 54,35 menjadi 54,18. Dari sisi variabel pembentuk IKI, pesanan baru pada bulan November 2025 mengalami peningkatan 0,68 poin menjadi 55,93.
Namun, variabel persediaan produk mengalami perlambatan 0,33 poin ke level 56,19. Sedangkan nilai IKI untuk variabel produksi masih kontraksi setelah merosot sedalam 1,08 poin ke posisi 47,49.
Febri membeberkan bahwa nilai IKI didapat dari survei dan analisis terhadap 23 sub sektor industri manufaktur. Dari jumlah tersebut, sebanyak 22 sub sektor mengalami ekspansi pada bulan ini.
Dua sub sektor dengan nilai IKI tertinggi adalah Industri Pengolahan Tembakau yang tercatat dalam Klasifikasi Baku Lapangan usaha Indonesia (KBLI) 12. Selanjutnya ada Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional (KBLI 21).
Ekspansi industri pengolahan tembakau terdorong oleh aktivitas pelaku usaha yang sedang giat melakukan produksi setelah melewati masa panen. "Industri pengolahan tembakau bersifat musiman, memang meningkat pada periode tertentu," jelas Febri dalam konferensi pers yang berlangsung pada Kamis (27/11/2025).
Sedangkan ekspansi pada sub sektor industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional terdorong oleh belanja pemerintah. Terutama belanja untuk program jaminan kesehatan nasional terhadap produk-produk farmasi.
Di sisi lain, ada satu sub sektor manufaktur yang mengalami kontraksi, yakni Industri Tekstil (KBLI 13). Hasil ini sama seperti IKI bulan lalu, yang kala itu industri tekstil menjadi satu-satunya sub sektor yang mengalami kontraksi.
Analisis dari Kemenperin mengungkap sejumlah faktor yang masih menekan industri tekstil. Faktor utama penyebab kontraksi adalah permintaan yang masih lesu. Kondisi ini terjadi di tengah kenaikan harga bahan baku dan bahan penolong yang mengerek harga jual. Sejumlah produsen pun melaporkan penjualan ritel mengalami penurunan.
Kontraksi juga terjadi pada industri penyempurnaan kain karena kondisi stok di pasar kain jadi yang masih melimpah. Secara umum, industri tekstil dalam posisi bertahan untuk bisa menjaga stabilitas di tengah kenaikan kurs dolar Amerika Serikat dan peningkatan inflasi sejak triwulan ketiga.
Baca Juga: Astra Auto Fest 2025: Target 4.000 Transaksi, Dorong Ekosistem
Selanjutnya: Marak Emiten Ganti Pengendali, Intip Prospek dan Rekomendasi Sahamnya
Menarik Dibaca: Gen Z vs Milenial vs Gen X: Begini Perbedaan Cara Mereka Bepergian
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













