kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45908,54   -10,97   -1.19%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inilah akhir rezim cost recovery


Kamis, 19 Januari 2017 / 11:08 WIB
Inilah akhir rezim cost recovery


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Adios rezim pengembalian biaya operasi atau cost recovery.  Rabu (18/1) pemerintah merilis Permen ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Berlaku mulai 16 Januari 2017, bagi hasil migas kontraktor melejit, tapi tidak ada lagi biaya penggantian operasi.

Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, dengan gross split, pemerintah bisa mengurangi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Biaya operasi tak lagi dibebankan ke negara, tapi ke kontraktor migas.

Berkaca dari tahun 2016, pagu cost recovery sebenarnya US$ 8,4 miliar, tapi membengkak menjadi US$ 11,4 miliar. Tanpa cost recovery APBN tak terganggu lagi. Di sisi lain. "Kontraktor  mendapatkan keuntungan besar jika bisa melakukan efisiensi," ujar Jonan, dalam konfrensi pers di kantornya, Rabu (18/1).

Dengan terbitnya aturan ini, pemerintah bisa mendorong minat investasi hulu migas. "Proses perizinan investasi tidak harus menunggu setahun, dua tahun karena perlu persetujuan SKK Migas," katanya.

Selain memangkas perizinan, masuknya investasi juga didorong tingginya harga minyak. Aturan gross split ini menyebutkan, ketika harga minyak rendah, bagi hasil kontraktor tinggi.

Menurut Jonan, jika harga naik terus, investasi semakin besar. Kalau harga turun seperti akhir tahun 2014 hingga sampai US$ 27 per barel, gairahnya turun juga. "Kita tidak bisa apa-apa, karena harga migas ditentukan pasar global, kami bantu dari regulasi sesuai arahan Presiden untuk membuat regulasi yang bisa membuat investasi semakin baik," jelas Jonan.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengklaim, simulasi memakai skema gross split dengan memakai kontrak bagi hasil plus cost recovery sudah dilakukan terhadap 10 kontraktor migas. "Melalui skema gross split seolah-olah bagi hasil negara rendah. Namun saat menggunakan cost recovery bagi hasil negara yang masih dipotong cost recovery juga, jadi hanya 45%," kata dia.

Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto mengatakan, skema gross split sebenarnya tantangan yang cukup berat bagi operator blok migas. Ia memberi contoh Blok Offshore North West Java (ONWJ),   jika dihitung secara kasar bagi hasil Pertamina justru kurang. "Pertamina akan melakukan efisiensi agar menutup kekurangan pendapatan yang seharusnya didapat," katanya.

Sementara itu, Direktur Indonesia Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan, pihaknya belum bisa memberi kepastian soal efektivitas aturan itu. Apakah bisa mendatangkan investasi hulu migas. "Kita lihat reaksi pasar saat ada tender blok migas," ungkap dia, ke KONTAN, Rabu (18/1).

Menurutnya, angka-angka dalam aturan gross split tak berdiri sendiri, harus ada hal lain yang diubah. "Itu kewenangan pemerintah, mereka tidak memerlukan IPA untuk  menyepakati. Jadi itu keputusan pemerintah," tandas Marjolijn.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×