Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) menyatakan belum merasakan dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Situasi pelemahan ini sudah pernah terjadi dan GPFI akan menyiasati hal ini. Pasalnya, bahan baku farmasi 90% masih diimpor dari luar negeri.
Seperti diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kembali ditutup melemah pada Selasa (10/10). Mata uang garuda turun 46 poin ke level Rp 15.738 dari posisi sebelumnya yaitu Rp 15.629.
Direktur Eksekutif GPFI, Elfiano Rizaldi mengatakan, saat ini belum ada dampak terkait penguatan dolar AS lantaran situasinya baru terjadi. Situasi pelemahan rupiah ini juga seperti pada akhir 2022 dan awal tahun 2023 yang lalu.
"Harga bahan baku obat saat ini cenderung turun karena oversupply atau build up dari pasca Covid-19. Adapun, rata-rata harga bahan baku obat turun 10% sampai 20%," kata Elfiano saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (11/10).
Baca Juga: Industri Manufaktur Terdampak Pelemahan Rupiah
Ia menjelaskan, untuk menyiasati pelemahan rupiah ini, GPFI mengantisipasi dengan melakukan hedging atau lindung nilai. Asal tahu saja, hedging adalah strategi manajemen risiko untuk melindungi atau membatasi aset dari risiko bisnis yang terlalu besar di kemudian hari. Strategi ini bertujuan agar neraca keuangan perusahaan tetap kuat.
Randy menambahkan, di tahun ini industri farmasi khususnya di sektor apotik mengalami minus growth dan di sektor rumah sakit masih positif growth.
Sementara itu, Wakil Ketua Tetap Farmasi dan Alat Kesehatan Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Randy Teguh menuturkan, penguatan dolar lebih berdampak pada industri farmasi.
"Apalagi, ketergantungan pada impor bahan baku farmasi masih tinggi. pemerintah sejak beberapa tahun terakhir sudah terus meningkatkan kemampuan industri dalam negeri untuk menyediakan bahan baku farmasi," ujar Randy kepada Kontan.co.id, Rabu (11/10).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News