Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi investasi China ke Indonesia memasuki kuartal IV-2025 mengalami penurunan dibandingkan dengan investasi negeri tirai bambu itu sepanjang periode 2024.
Berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi (BKPM) realisasi investasi China pada 2024 menyentuh angka US$8,1 miliar sedangkan tahun ini pada triwulan III realisasinya masih sekitar US$5,4 miliar.
Terkait penurunan ini, Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan komitmen investasi dari China terlalu banyak tapi realisasinya lebih kecil dari tahun lalu.
Salah satu penyebab menurunnya investasi menurut CELIOS adalah menurunnya harga nikel yang membuat fase booming investasi nikel semakin meredup.
Baca Juga: Ini Deretan Proyek Mobil Nasional Indonesia: Dari Timor hingga Esemka
“Penurunan harga nikel dan lemahnya permintaan domestik China memicu penurunan investasi," ungkap Bhima dalam keterangan yang diterima Kontan, Rabu (22/10/2025).
Untuk membalik tren yang mulai turun, menurutnya Perusahaaan Listrik Negara (PLN) dan Kementerian ESDM harus bergegas menawarkan proyek energi terbarukan.
"Salah satunya pembangunan industri baterai dan komponen domestik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya,” ujar Bhima.
Selain itu, Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur riset China-Indonesia, CELIOS juga menyoroti di tengah pasang surut harga nikel yang menjadi primadona di Indonesia, belakangan ini terjadi pergeseran minat investor China di dalam negeri.
“Setelah industri nikel redup dan tidak kompetitif lagi investor China mulai melirik sektor lain yang dinilai lebih potensial dan disebut dapat mendorong hilirisasi energi hijau nasional, misalnya pertengahan tahun ini, China berkomitmen untuk investasi teknologi pengolahan sawit sebesar US$9 miliar," jelasnya.
Tidak hanya itu ada beberapa komitmen-komitmen proyek hijau lainnya seperti pembangunan solar panel di Jawa Barat.
"Ya, meskipun kita tetap harus mendorong agar proyek-proyek hijau tidak dioperasikan menggunakan energi kotor," tambahnya.
Lebih lanjut, Yeta Purnama, Peneliti CELIOS, menegaskan bahwa pemerintah perlu memanfaatkan momentum pergeseran investasi ini untuk membangun ekosistem industri hijau yang benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan.
“Jika fase booming nikel berakhir, Indonesia harus siap melakukan reposisi strategi industrinya. Artinya, bukan hanya bergeser ke sektor hijau secara simbolik, tetapi memastikan rantai pasoknya transparan, perlahan-lahan bebas batu bara, dan memberi nilai tambah di dalam negeri,” tutup Yeta.
CELIOS menilai kerja sama Indonesia–Tiongkok berpotensi menjadi katalis penting bagi transformasi energi nasional, asalkan kebijakan industri, pendanaan hijau, dan tata kelola proyek dapat berjalan secara konsisten dan akuntabel.
Baca Juga: MRT dan Sumitomo Corporation Tandatangani Kontrak Pengadaan Sarana MRT Fase 2A
Selanjutnya: Harga Bitcoin Mirip Pola Pasar Kedelai 1970-an, Analis Ini Peringatkan Koreksi 50%
Menarik Dibaca: Cek Tarif Iuran BPJS Kesehatan Terbaru dan Skema Pembayaran Agar Tetap Terjamin
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News