Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Selama 2023, investasi energi baru terbarukan (EBT) melandai karena disebabkan sejumlah faktor kondisi dan kebijakan nasional.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dari periode Januari-November 2023 investasi sub-sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) senilai US$ 1,17 miliar atau baru 64,94% dari target tahun ini senilai US$ 1,8 miliar.
Adapun investasi EBTKE di tahun ini akan menjadi yang terendah dalam 6 tahun terakhir.
“Kondisi kelistrikan Indonesia yang over supply dalam beberapa tahun belakangan dan ke depan menjadi alasan kuat untuk tidak banyak menerima energi terbarukan. Walaupun di lain pihak pembangunan PLTU masih terus dilanjutkan tanpa terhalang oleh over supply,” ujar Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Surya Darma kepada Kontan.co.id, Kamis (7/12).
Baca Juga: Hingga November 2023, Realisasi Investasi EBTKE Indonesia Mencapai US$ 1,17 Miliar
Fenomena ini, lanjut Surya, agak berbeda dengan kondisi di berbagai negara lain yang sedang melaksanakan transisi energi. Investasi dan bauran energi terbarukan di sejumlah negara mengalami peningkatan demi mendukung target net zero emission (NZE) dan target kontribusi yang ditetapkan cecara nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).
Dia menyayangkan hal ini karena Indonesia telah menyampaikan ambisinya mencapai target NDC maupun NZE di 2060 melalui transformasi penggunaan energi dari fosil ke energi terbarukan.
Persoalan yang menghambat investasi EBT di Indonesia sejatinya belum banyak berubah dari beberapa tahun silam, salah satunya persoalan sosial di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP).
“Masalah sosial biasanya terjadi karena ada conflict of interest. Ini perlu dicermati dan diselesaikan,” kata Surya.
Selain masalah sosial, kerap kali proyek panas bumi terkendala harga jual listrik yang tidak mencapai nilai keekonomiannya.
Surya menyatakan tarif listrik yang diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 belum cukup menunjang keekonomian proyek karena banyak faktor yang mempengaruhi investasi geothermal seperti infrastruktur yang terbatas.
Ia menyebut, harga listrik dari pembangkit panas bumi jika mempertimbangkan skala kapasitas, infrastruktur, dan dukungan pemerintah, tarifnya bisa di atas US$ 10 cent per KWh.
Sedangkan di dalam Perpres 112/2022 tarif listrik panas bumi di bawah US$ 10 cent per KWh. Sebagai gambaran harga patokan tertinggi PLTP di tahun pertama hingga 10 tahun dengan kapasitas sampai dengan 10 MW senilai US$ 9,76 cent per KWh, sedangkan di atas 100 MW senilai US$ 7,65 cent per KWh.
“Selain menyelesaikan aspek bisnis, pemerintah juga semestinya memberikan kepastian hukum dalam usaha, menghilangkan pola negosiasi harga yang berkepanjangan sehingga tidak memberikan kepastian waktu,” imbuh Surya.
Baca Juga: Investasi EBTKE Indonesia di Tahun Ini Diproyeksi Capai Titik Terendah Sejak 2017
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News