Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pengembangan Carbon Capture Storage (CCS) di Indonesia diakui membutuhkan investasi yang mahal sehingga dibutuhkan banyak bantuan dari pemerintah.
Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center, Belladonna Troxylon Maulianda menyatakan, sejatinya teknologi CCS ini sejak lama sudah digiatkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggirs, Norwegia, Kanada, dan lainnya.
Nah di Indonesia teknologi CCS masih mahal karena baru akan diterapkan sehingga belum ada rantai pasok yang terintegrasi untuk mendukung bisnis ini.
Baca Juga: Bisnis CCS di Indonesia Libatkan Kementerian ESDM, KLHK, Hingga SKK Migas
“Di negara maju biaya CCS sudah turun dan tercipta add scale karena sudah masif. Selain itu di sana menggunakan konsep CCS Hub,” ujarnya dalam Konferensi Pers International and Indonesia CCS Forum 2024 di Jakarta, Selasa (23/1).
Dalam CCS Hub ada beberapa tahapan yang harus dilewati.
Industri yang memproduksi emisi (emitter) akan membangun fasilitas CCS-nya sendiri, misalnya telah dilakukan Shell membangun faslitas Quest CCS di Canada. Di fasilitas ini Shell dapat menangkap CO2 skala besar dari sumber industri.
Kemudian dilaksanakan kemitraan berbasis proyek di mana pengembang proyek bermitra dengan emitter untuk membangun fasilitas CCS berdasarkan proyek. Pada tahap ini sudah dilakukan Aker Carbon Capture Storage.
Baru kemudian pengembang CCS Hub menjadi agregator penangkapan karbon dan menggunakan layanan transportasi dan penyimpanan bersama.
“Dengan CCS Hub bisa menurunkan biaya CCS di Indonesia,” ujarnya.
Meski demikian, pengembangan CCS juga tidak bisa serta-merta dilakukan sendiri. Sekelas negara maju saja juga masih bergantung pada bantuan pendanaan pemerintah.
“Misalnya di Norwegia sekitar 60%-80% didukung bantuan pemerintah,” jelasnya.
Managing Director & Partner at Boston Consulting Group (BCG), Lenita Tobing menyatakan sejumlah negara maju di dunia telah menjadikan CCS sebagai strategi iklim. Pemerintah di sana aktif memberikan bantuan dalam pengembangan CCS.
“Misalnya China telah mendukung proyek CCS dengan hibah dan pendanaan penelitian, mengembangkan situs penyimpanan karbon, dan lainnya,” jelasnya.
Baca Juga: Pemerintah Buka Peluang Impor Karbon dari Luar Negeri Untuk Bisnis CCS di Indonesia
Selain itu, di Amerika Serikat juga telah mengenalkan kredit pajak 45Q untuk mensubsidi pengembangan industri CCS. 45Q ini memberikan kredit US$ 60 sampai US$ 85 per ton CO2 yang disimpan untuk jangka waktu 12 tahun.
Dari sisi pemerintah, Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf mengatakan, kolaborasi suatu hal yang umum untuk mengejrakan proyek baru seperti CCS. Tahapan saat ini baru berupa riset sehingga butuh kerja sama oleh semua pihak termasuk pembiayaan.
Perihal bantuan dari pemerintah bisa berbentuk Goverment to Goverment (G2G) atau Business to Business (B2B).
“Beberapa studi kan sudah dilakukan misalnya antara Exxon dengan Pertamina Group itu kan B2B. Kita sudah punya CCS Indonesia Center itu kan atas nama pemerintah. Nanti kalau ada donor dari pemerintah mana itu kan biasa,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News