Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih menyoroti draft Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang mulai dibahas secara intensif oleh Komisi VII DPR RI. Salah satu yang menjadi sorotan ialah isu terkait nuklir dan energi baru.
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih berpandangan bahwa Komisi VII seharusnya mengeluarkan isu nuklir dan energi baru dari draft RUU. Sehingga bisa membangun kerangka kebijakan yang komprehensif untuk energi terbarukan, seperti tenaga surya, air, angin, bioenergi, dan panas bumi, yang saat ini pengembangannya masih menghadapi berbagai hambatan.
Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Wira Dillon menyampaikan, isu nuklir seharusnya tidak dimasukkan dalam draft RUU karena nuklir telah dibahas tersendiri dalam UU Nomor 10 tahun 1997 tentang ketenaganukliran. Apalagi, pembahasan tentang pengusahaan nuklir dalam ketenagalistrikan telah dimasukkan dalam draft RUU Cipta Kerja.
Baca Juga: Belum bayar listrik? Catat, ini rincian denda telat bayar listrik PLN
Selain itu, sambungnya, di dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 menyebutkan bahwa nuklir merupakan pilihan terakhir bagi penyediaan energi di Indonesia. "Memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT akan berlawanan dengan azas dan tujuan dasar pembuatan RUU ini, diantaranya asas keberlanjutan, asas ketahanan, serta kedaulatan dan kemandirian," kata Wira lewat keterangan tertulis yang dikutip Kontan.co.id, Senin (21/9).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan, pemerintah dan DPR seharusnya dapat mengantisipasi adanya potensi ketergantungan teknologi dalam pengembangan PLTN. Selain biaya yang sangat mahal, imbuhnya, pembangunan PLTN membutuhkan waktu lebih lama apabila dibandingkan dengan pembangunan dan teknologi energi terbarukan.
Apalagi, ke depan harga energi energi terbarukan semakin murah dan semakin cepat untuk dibangun, terutama dalam menggantikan kapasitas PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dari batubara yang juga mesti segera ditutup. Fabby menyampaikan, adanya isu nuklir di dalam draf RUU EBT ini seharusnya menjadi perhatian bagi para anggota DPR RI mengenai kemungkinan adanya kepentingan segelintir orang yang mengemas nuklir sebagai solusi yang menjawab ketahanan energi nasional.
“Pembangunan PLTN memiliki sifat dan karakter yang berbeda dari energi terbarukan, serta resiko jangka panjang yang tidak selayaknya diwariskan kepada generasi yang akan datang,” tegas Fabby.
Baca Juga: Pengembangan industri baterai kendaraan listrik dorong pembangunan smelter tembaga
Lebih lanjut, Manajer Program Transformasi Energi IESR Jannata Giwangkara menjelaskan bahwa keberadaan RUU Energi Terbarukan pada prinsipnya adalah untuk mengisi kekosongan dukungan pada energi terbarukan dalam UU yang sudah ada sebelumnya, yaitu UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Kata dia, pengalaman di sejumlah negara berkembang seperti India dan Chili telah membuktikan bahwa adanya undang-undang khusus atau kerangka regulasi yang kuat khusus untuk energi terbarukan mampu mendorong dan mengakselerasi pembangunan energi terbarukan.
“Untuk konteks nasional, keberadaan UU Energi Terbarukan akan menjadi payung legislasi untuk turunan regulasi lainnya yang selama ini rentan mengalami perubahan dan preferensi menteri sektoral. UU ini akan menjadi sinyal yang positif bagi investor, sehingga menciptakan lingkungan kondusif untuk pengembangan bisnis dan industri energi terbarukan, sehingga memiliki playing field yang seimbang dengan energi konvensional,” jelas Jannata.