kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45904,37   1,04   0.11%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kebutuhan Nikel untuk Baterai Kendaraan Listrik Capai 59.000 Ton


Kamis, 08 Juni 2023 / 14:36 WIB
Kebutuhan Nikel untuk Baterai Kendaraan Listrik Capai 59.000 Ton
ILUSTRASI. Kementerian Perindustrian menyebut, kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik di Indonesia hingga 2035 sebanyak 59.506 ton.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian menyebut, kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik di Indonesia hingga 2035 sebanyak 59.506 ton. Proyeksi kebutuhan nikel ini berdasarkan target kuantitatif pemerintah dalam Permen Perindustrian No 6 Tahun 2022 dengan Baterai NMC 811.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Taufik Bawazier mengatakan, untuk industri nikel berbasis hidrometalurgi sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) baru mencapai produksi MHP dengan kapasitas produksi 915.000 ton per tahun.

“Sejatinya ini bisa dimanfaatkan paling tidak setelah pabrik baterai kita cukup kuat, kita bisa supply bahan baku nasional ke dalam eksostem EV di dalam negeri,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Kamis (8/6).

Baca Juga: Supply dan Demand Tidak Berimbang, Harga Komoditas Logam Industri Turun

Berdasarkan hitungan Kementerian Perindustrian, kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik di 2025 dibutuhkan 25.133 ton, kemudian di 2030 sebesar 37.699 ton, dan di 2035 sebanyak 59.506 ton.

Perhitungan ini berdasarkan aturan praktis atau rule of thumb, daya baterai yang dibutuhkan untuk kendaraan listrik roda dua sekitar 1,44 KWh dan kendaraan listrik roda empat 60 KWh. Adapun masing-masing KwH dibutuhkan nikel sekitar 0,7 kg, Mangan 0,096 kg, dan Kobalt 0,096 kg.

“Semua bahan baku ada di Indonesia sekitar 93%, di mana 7% lithium perlu impor. Jadi di sini kita perlu membalikan situasi harus bangun di dalam negeri penguatan kemampuan dalam negeri karena punya bahan baku itu semua,” kata Taufik.

Produk turunan nikel sebagai bahan baku baterai EV pada umumnya menggunakan metode hidrometalurgi.

Namun, lanjut Taufik, tidak menutup kemungkinan produk pirometalurgi menjadi bahan baku baterai EV melalui proses converter  di mana perlu kajian efisiensi biaya.

Saat ini sudah ada 4 smelter nikel hidrometalurgi atau smelter pendekatan High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang sudah beroperasi yakni PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Material, PT Halmahera Persada Lygend, dan PT Kolaka Nickel Indonesia.

Taufik menegaskan, Kemenperin akan memperkuat khususnya untuk tata kelola smelter nikel, seperti kemampuan sumber daya manusia (SDM) dari hilirisasi nikel dan mineral yang lain. Kemudian pengaturan standar kawasan dan industri hijau terutama SNI produk akhir.

“Semua ini kami dukung sehingga produk hilir nikel di dalam negeri memiliki daya saing internasional,” tegasnya.

Asal tahu saja pemerintah telah menetapkan peta jalan (roadmap) pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV dan Perhitungan Tingkat Kandungan Lokal Dalam Negeri (TKDN).

Pemerintah menargetkan produksi BEV pada tahun 2030 dapat mencapai 600.000 unit untuk roda 4 atau lebih, serta 2,45 juta unit untuk roda 2.

Baca Juga: Dari 34 Smelter Nikel yang Beroperasi, Baru 4 Smelter Masuk Hilirisasi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×