kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kedelai langka, ini kata Pemuda Tani HKTI


Kamis, 07 Januari 2021 / 18:07 WIB
Kedelai langka, ini kata Pemuda Tani HKTI
ILUSTRASI. Ketua Pemuda Tani HKTI Rina Sa'adah.


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selain Covid 19 yang masih mendominasi pemberitaan media nasional, kali ini media ramai-ramai mengulas kelangkaan atau hilangnya tempe–tahu di pasaran pada awal 2021 ini. 

Lebih kurang 90% dari jumlah 160.000 perajin tahu tempe di Indonesia mogok produksi selama 3 hari, terhitung sejak 1 sampai 3 Januari. Aksi tersebut merupakan buntut dari mahalnya harga kedelai impor, sementara produsen kesulitan menaikkan harga jual di pasar.

Ihwal pemberhentiannya karena harga bahan baku kedelai yang selama ini di impor naik dari Rp. 7.000/kg menjadi Rp. 9.200 sampai Rp. 9.500/kg. Kenaikan harga kedelai di pasar global sampai 35% adalah dampak pandemi covid 19 dan setelah China meningkatkan kuota impor kedelai sebesar 60%.

Baca Juga: Mau IPO, Widodo Makmur Unggas (WMU) kejar penjualan Rp 4,3 triliun di tahun 2021

Hal ini berdampak pada harga di Indonesia menjadi lebih tinggi lagi. Namun sejak Senin, 4 Desember tempe - tahu kembali ditemukan di pasar-pasar tradisional namun pengrajin tahu dan tempe mematok kenaikan harga sebesar Rp 2.000 atau 20% daripada harga jual sebelum harga kedelai naik.

Berdasarkan outlook pangan yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2015-2019, produksi kedelai Indonesia terus menurun, rata-rata 1,49% per tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan konsumsi kedelai yang terus naik. Saat ini rata-rata konsumsi kedelai sebesar 6,59 kg/kapita/tahun dan cenderung meningkat dengan rata-rata 1,73% per tahun. 

Akibat konsumsi terus meningkat, maka terjadi kenaikan impor karena berdasarkan data BPS 2018, produksi kedelai dalam negeri hanya 982.598 ton. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, harus mengimpor 2.6 juta ton untuk menutupi kekurangan produksi dalam negeri bahkan Kementerian Perdagangan memperkirakan terjadi kenaikan impor kedelai rata-rata 3,57% setiap tahunnya.

Hingga 2020, tren impor kedelai pun tak berubah bahkan memburuk sejak Indonesia mengalami defisit kedelai pertama pada 1976 dengan impor 171.192 ton.  FAO mencatat tren impor terus berlanjut tanpa henti. Per 1986 impor kedelai membengkak menjadi 359.271 ton, lalu menjadi 746.329 ton (1996), 1,13 (2006) dan 2,26 juta (2016). Selama 2015-2019, impor sudah konsisten di kisaran 2,2-2,5 juta ton.

Nilai rasio ketergantungan terhadap impor (Import Dependency Ratio/IDR) kedelai Indonesia tahun 2013-2017 mencapai 88,60%. Besaran tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor sangat tinggi mendekati angka 90%. Nilai IDR tersebut seiring dengan nilai Self Sufficiency Ratio (SSR) sebesar 11,82%, SSR dalam hal ini menjelaskan bahwa Indonesia baru mampu mencukupi kebutuhan kedelai dari hasil dalam negeri sebesar 11,82% dari total kebutuhan.

Baca Juga: Genjot kredit pertanian, BRI Agro jalin kerja sama dengan Tanihub

Saat kebutuhan kedelai terus meningkat, produksi dalam negeri justru menurun. Data Kementerian Pertanian, tahun 2015 produksi kedelai hanya 963.183 ton, pada 2016 turun menjadi 859.653 ton, tahun 2017, angkanya anjlok lagi 538.728 ton dan 2018 naik  lagi menjadi 982.598 dari target 2,2 juta ton dan tahun 2019 kembali anjlok hanya 480.000 ton atau 16,4% dari target 2,8 juta ton.

"Faktor utama rendahnya produksi kedelai dalam negeri adalah lahan penanaman kedelai banyak mengalami transformasi, alih fungsi dan harus bersaing dengan tanaman strategis lain seperti padi dan jagung. Hal lain adalah petani kurang tertarik menanam kedelai karena rendahnya produktivitas kedelai dimana per 1 ha, tanaman kedelai hanya dapat menghasilkan 2-2,5 ton/100 hari padahal dengan luas serupa tanaman padi dapat menghasilkan 5-6 ton/100 hari," ujar Ketua Pemuda Tani HKTI Rina Sa'adah dalam keterangannya, Kamis (7/1).

Banyak faktor yang mempengaruhi aspek teknis produksi seperti rendahnya penggunaan benih bermutu dari varietas unggul, pengelolaan tanaman, kesuburan tanah, pemupukan, maupun pengendalian hama penyakit. 

Dalam jangka pendek, dia bilang pemerintah bisa segera melakukan operasi pasar guna menurunkan dan menstabilkan harga. Sementara jangka panjang, pemerintah harus menggenjot berswasembada kedelai. 

Ia melanjutkan beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam upaya program swasembada kedelai adalah perluasan areal tanam, peningkatan produktivitas, kebijakan pasar, mengevaluasi kembali bea masuk 0% bagi impor, hingga membuat kreasi efisiensi produksi dengan menggunakan inovasi.

Selanjutnya: Harga tahu dan tempe melonjak, ini penjelasan Kemendag

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×