kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kemarau, produksi teh menurun drastis


Kamis, 28 September 2017 / 17:55 WIB
Kemarau, produksi teh menurun drastis


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - Musim kemarau yang melanda Indonesia turut mempengaruhi produksi teh nasional. Ketua Umum Dewan Teh Indonesia, Rachmat Badruddin mengungkap, kekeringan tersebut turut mendorong hama dan penyakit, sehingga selama beberapa bulan terakhir produksi teh bisa berkurang hingga 50%.

"Produksi semester I masih normal, tidak terlalu banyak penurunan. Diperkirakan penurunan produksi terjadi terutama pada tiga bulan terakhir, yaitu Juli, Agustus, dan September. Karena kemarau yang cukup berat bahkan produksi ada yang sampai menurun hingga 50%," tutur Rachmat kepada KONTAN, Kamis (28/9).

Secara keseluruhan, produksi teh ini bisa menurun hingga 25% sampai 30% hingga akhir tahun. Padahal, selama setahun rata-rata produksi teh nasional sekitar 125.000 ton. Bila dihitung, produksi teh hingga akhir tahun berkisar 87.000 ton hingga 93.730 ton.

Rachmat mengungkap produksi teh ini dihasilkan dari perkebunan teh seluas 115.000 hektar. Dia menjelaskan terdapat tiga jenis perkebunan teh di Indonesia. Terdapat perkebunan teh milik Perkebunan Nusantara (PTPN), perkebunan berskala besar milik swasta, dan perkebunan teh rakyat. Namun, selama 10 tahun terakhir, terdapat pengurangan luas areal kebun teh.

Menurutnya, terdapat pengurangan luas kebun sekitar 30.000 hektar dalam setahun. "Awalnya terdapat luas kebun teh sekitar 150.000 ha. Dalam setahun terjadi penurunan 3.000 hektar, dalam sepuluh tahun, penurunan luas areal kebun kurang lebih seluas 30.000 hektar," ungkapnya.

Menurutnya, penurunan luas lahan tersebut terjadi dimulai sejak harga teh yang tidak terlalu bagus lantaran adanya kelebihan produksi di pasar internasional. Penurunan harga yang menurun pun ditambah dengan ongkos produksi yang naik, sehingga banyak produsen teh yang merasa tidak diuntungkan dengan melakukan ekspor teh.

Akhirnya, banyak petani yang mengalihkan kebunnya untuk menanam tanaman lain seperti buah-buahan, sayuran, dan komoditas lainnya. Padahal, dari total produksi teh nasional, sebanyak 60% diekspor ke negara asing, sementara sisanya dijual di dalam negeri.

Rachmat bilang, harga teh sebesar US$ 1,5 per kilogram Free On Board (FOB). Kebanyakan teh Indonesia diekspor ke Uni Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan Rusia. Namun, Rachmat mengakui terdapat beberapa aturan yang dikeluarkan oleh Komite Uni Eropa secara mendadak dimana aturan tersebut dianggap menyulitkan produsen teh di Indonesia dalam mengekspor produknya.

Dia pun mengakui, saat ini produk teh banyak ditinggalkan lantaran banyak yang beralih meminum kopi. "Saya kira agresifnya produksi kopi ditambah generasi muda yang gaya hidupnya berbeda juga mempengaruhi penjualan teh. Banyak generasi muda yang menganggap teh sebagai minuman orang tua, kafe-kafe kopi juga semakin bertumbuh pesat," ujarnya.

Rahmat menambahkan banyak kendala yang harus dihadapi oleh industri teh di Indonesia. Selain harga yang terus mengalami penurunan dan kelebihan produksi di paar dunia, dia mengungkap adanya kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% semakin mempersulit petani dan produsen.

"Karena ada PPN 10% menjadi semakin menambah beban bagi produsen. Petani juga yang menderita. Sementara 60% dari biaya produksi merupakan biaya untuk upah. Harga teh terus menurun, peraturan tidak mendukung," terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×