Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kementerian Pariwisata berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan mendorong wisata medis di Indonesia guna mencapai target mendatangkan 15 juta wisatawan asing dan 265.000 perjalan wisatara domestik pada tahun ini.
Esthy Reko Astuti, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara mengatakan, potensi pasar wisata medis di Asia Pasifik sangat besar. Pasalnya berdasarkan data Standford Research International, perjalanan medical tourism yang paling besar ada di Amerika Utara, Eropa dan Asia Pasifik.
Tahun 2015, wisata medical di Asia Pasifik mencapai 120 juta perjalanan dengan spending mencapai US$ 69 miliar. "Satu persen saja kita dapat dari sini sudah sangat besar," kata Esthy di Jakarta, Selasa (24/1).
Menurut Esty, jumlah wisatawan asing yang melakukan wisata medical ke Indonesia belum besar. Dari data tahun 2015, wisata medical hanya sekitar 17.000 orang atau tidak sampai 1% dari jumlah wisman yang mencapai 10,4 juta.
Selain dari wisatawan asing, potesi wisata medical dari wisatawan nusantara juga sangat besar. Ini bisa dilihat dari jumlah masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri yang bisa mencapai lebih dari satu juta setiap tahun.
Esthy bilang, untuk menarik potensi pasar tersebut, perlu ada kerjasama berbagai pihak antara Kementerian Pariwisata, Kementerian Kesehatan, pelaku bisnis pariwisata dan pelaku bisnis kesehatan. "Kita bisa mengembangkan health and wellness tourism dan dibundling produk kesehatan dan daya tarik wisata di Indonesia," kata dia.
Saat ini, Kemenpar telah mengembangkan sembilan treatment yang terkait dengan wisata medical diantaranya oukup/martup Batak, Batangeh Minang, Tangas Betawi, Lulu Jawa, So'oso Madura, Boreh Bali, Batimung Banjar, Tellu Sulape Eppa Bugis, dan Bakera Minahasa. Treatment ini sudah dikembangkan sejak dua tahun yang lalu.
Menurut Esthy, jika treatment tersebut dibundling dengan medis dan destinasi wisata maka akan bisa menarik wisatawan asing. "Saat ini saya belum dengar ada bundling ini. Tapi kalau teman-teman di industri mau kita bisa fasilitasi untuk membuat paketnya," ujarnya.
Sementara dengan Kementerian Kesehatan, Esthy mengaku, pihaknya sudah melakukan melakukan nota kesepahaman pada Oktober 2016 dalam rangka pengembangan wisata medical. Isi dari nota tersebut terkait dengan penyusunan program bersama wisata kesehatan, pengembangan mutu, pokja, pengembangan promosi, pembedayaan sumber daya di bidang kesehatan.
Adib A Yahya, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) mengatakan, tidak ada yang bisa melarang masyarakat Indonesia berobat ke luar negeri. Namun, yang perlu dilakukan untuk mendorong pasien memlih berobat di dalam negeri adalah dengan menawarkan produk yang diminati lewat wisata medical.
Dalam pengembangan wisata medical tersebut, banyak hal yang harus diperhatikan diantaranya soal pelayanan, akses, biaya dan promosi. "Dari sisi pelayanan rumah sakit juga perlu memperhatikan keinginan dari pasien misalnya dari sisi produk halal. Sedangkan dari sisi harga, pemerintah perlu memberikan insentif ke rumah sakit swasta agar bisa bersaing secara harga dari rumah sakit luar. Harusnya rumah sakit dijadikan sebagai industri sosial," jelas Adib.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News