Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan membuka keran ekspor pasir besi dalam waktu dekat. Pengusaha boleh mengekspor pasir besi, namun harus membayar bea keluar.
Dengan alasan menunggu putusan Kementerian Keuangan, Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral masih enggan mengungkapkan besaran bea masuk. Namun, sebagai gambaran, "Besaran bea masuk dan mekanismenya tak jauh beda dengan bea keluar tembaga," ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono Kamis (25/2).
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 153/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, pengenaan bea keluar atas ekspor komoditas disesuaikan dengan progres pembangunan pabrik pemurnian atawa smelter.
Aturan itu menyebut jika perusahaan tambang telah membangun atau mengeluarkan biaya investasi smelter sebesar 0%-7,5%, mereka harus membayar bea keluar 7,5% dari nilai ekspornya.
Bila realisasi pembangunan smelter antara 7,5-30%, bea keluar yang harus dibayar 5%. Sedangkan jika progres pembangunan smelter lebih dari 30%, tidak dikenakan bea keluar alias 0%.
Namun Bambang memastikan angka-angka persentase bea keluar ini akan berbeda dengan produk tembaga. "Nanti angka pastinya kami informasikan lagi," katanya.
Menurut Bambang, saat ini Kementerian ESDM sudah mengirimkan masukan kepada Kementerian Keuangan mengenai rencana bea keluar bijih besi ini. Nantinya, aturan ini yang akan menjadi dasar bagi pemerintah untuk memberikan rekomendasi ekspor kepada perusahaan tambang pasir besi.
Mekanisme seperti ini yang juga telah dilakukan kepada perusahaan tambang tembaga seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan perusahaan tambang lain yang belum punya smelter.
Jangan diskriminasi
Meskipun rencana membuka keran ekspor bijih besi ini melegakan bagi sebagian perusahaan namun pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa masukan. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik menilai, penetapan bea keluar konsentrat pasir besi tak tepat. Sebab, komoditi tersebut mengandung titanium dan ilmenite yang termasuk dalam kategori mineral tanah jarang (rare earth).
Adapun harga jual kedua komoditas itu jauh lebih mahal ketimbang bijih besinya. Oleh karena itu, ekspor pasir besi harus tetap ketat.
Karena itu ia menyarankan, dalam penetapan bea keluar nanti, harus lebih spesifik, produk yang mengandung dua jenis mineral tersebut kena bea keluar lebih mahal.
Selain itu, proses pengolahan pasir besi yang mengandung titanium dan ilmenite jauh lebih rumit. Hanya saja Mantan Direktur Jenderal Minerba, Simon Sembiring tak sependapat jika produk konsentrat ini mendapatkan perlakuan bea keluar lebih mahal ketimbang konsentrat mineral tambang yang lain. "Tentu saja bisa menambah pendapatan negara, tapi agar adil jangan ada diskriminasi antar komoditi tambang," tandasnya.
Sementara Direktur Central for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss), Budi Santoso melihat pembukaan keran ekspor pasir besi bertujuan agar pengolahan dalam negeri berkembang. "Menurut saya baik, karena nilai tambah dinikmati oleh rakyat," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News