Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun peta jalan pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Diharapkan peta jalan ini bisa dengan spesifik mengidentifikasi dampak pemensiunan dini PLTU terhadap ekonomi hingga sosial pada masyarakat yang tinggal di wilayah penghasil batubara dan pembangkit.
Saat ini, ada dua PLTU yang sudah pasti akan dipensiunkan yakni PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu.
Kedua pembangkit ini sudah masuk ke dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) yang rencananya akan dipensiunkan pada tahun 2035 dan 2037.
Baca Juga: Penerapan Teknologi Co-Firing dari PLN Dinilai Bisa Tekan Emisi Karbon
Koordinator Penyiapan Program Konservasi Energi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), M. Arifuddin menjelaskan, saat ini pihaknya sedang menyusun peta jalan pemensiunan dini PLTU.
“Konsep awal sudah kami sampaikan kepada Kementerian Keuangan dan juga Kementerian BUMN. Tentunya kami membutuhkan tanggapan dari dua kementerian ini,” ujarnya dalam acara di Jakarta, Kamis (25/1).
Arifuddin menyatakan, saat ini pemensiunan dini pembangkit batubara masih berpedoman pada regulasi yang ada yakni Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Peneliti Bidang Hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh menyatakan pentingnya dokumen hukum yang jelas dalam melaksanakan pemensiunan dini PLTU.
Menurutnya kerangka regulasi Perpres 112/2022 memiliki masalah substansial.
CELIOS mencatat 6 poin dalam Perpres 112/2022 yang membuat kebijakan transisi dari pembangkit fosil ke EBT sulit dijalankan dan terkesan setengah hati.
Pertama, jika dicermati Pasal 3 Perpres 112/2022 tidak menjelaskan bahwa penyusunan peta jalan pengakhiran PLTU akan dituangkan dalam jenis produk hukum yang spesifik.
Tidak jelasnya dasar hukum percepatan pengakhiran masa operasional PLTU akan membuat program transisi energi tidak memiliki arah dan tata kelola yang buruk.
Kedua, tidak adanya prosedur yang jelas, pasti, dan baku dalam proses penyusunan peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU.
Melihat studi banding dengan Jerman yang sudah melakukan transisi energi dan tegas meninggalkan batubara di sektor ketenagalistrikan. Bahkan sampai memiliki Undang-Undang khusus di sektor ini.
Ketiga, komitmen meninggalkan pembangkit berbasis batubara tidak tegas.
Di Perpres 112/2022 mencampur aduk keinginan transisi energi dan pembangunan PLTU sepanjang pembangkit memiliki nilai keekonomian dan masuk dalam kriteria Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Ini kan ada kriteria yang tidak benar-benar serius,” tegasnya.
Baca Juga: Pasokan Berlebih, Proyek 35.000 MW Ditunda
Keempat, penentuan waktu yang tidak spesifik untuk menyusun peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU.
Kelima, Pemda dan aktor kunci tidak dilibatkan dalam penyusunan peta jalan.
Keenam, kriteria untuk mempercepat pengakhiran operasi PLTU tidak bebas dari konflik kepentingan.
Situasi benturan kepentingan menjadi sangat nyata saat PLN harus mengakhiri pengoperasian PLTU yang dimilikinya sendiri atau PLTU swasta (Independent Power Producer/IPP).
“Secara keseluruhan, jika ada regulasi yang jelas, pemerintah daerah (pemda) dan pelaku usaha akan confident untuk bertindak lebih jauh dalam melaksanakan pensiun dini PLTU,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News