Reporter: Filemon Agung | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketentuan perubahan skema rezim kontrak migas menjadi perizinan berusaha dalam UU Cipta Kerja alias Omnibus Law berpotensi merugikan pemerintah dan pelaku usaha.
Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, perubahan skema ini membuat sistem pengusahaan hulu migas bakal menyerupai yang terjadi pada sektor pertambangan umum.
"Dengan perizinan (maka) tidak ada lagi kontrol negara atas anggaran dan produksinya. Karena kemudian menjadi domain yang diberi izin," ujar Komaidi kepada Kontan.co.id, Kamis (15/10).
Baca Juga: SKK Migas: Hingga September, investasi hulu migas capai 63,33% dari target
Ia menambahkan kondisi ini juga membuat baik negara maupun pelaku usaha, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dirugikan. Pasalnya, dengan mekanisme perizinan maka izin pengusahaan KKKS dapat dicabut sewaktu-waktu.
"Kedudukan pemberi izin di atas yang diberi izin (KKKS). Sementara dalam sistem kontrak kedudukan para pihak setara," kata Komaidi.
Ia menambahkan, langkah pemerintah untuk mengatur lebih lanjut sejumlah ketentuan dalam UU Migas pun bakal memiliki dampak.
Kendati telah masuk dalam prolegnas, berkaca dari pengalaman selama ini bisa dikatakan tidak ada kemajuan berarti pada UU Migas dalam kurun 12 tahun terkahir.
Pemerintah juga dalam UU CIpta Kerja tak merinci lebih jauh soal ketentuan peralihan kontrak dari sistem kontrak ke perizinan berusaha. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan skema dan regulasi dalam beberapa waktu kedepan sembari menanti UU Migas yang baru disahkan.
Selanjutnya: IPA: Omnibus Law jamin tak ada perubahan kontrak migas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News