Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Industri farmasi memutar otak untuk meminimalisir pembengkakan beban pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) akibat gejolak risiko nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Misalnya, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) akan menggandeng investor asal Asia membentuk perusahaan patungan atau joint venture (JV) untuk mendirikan pabrik bahan baku di tahun 2016 di Cikarang,Jawa Barat.
Saat ini, Kimia Farma dan investor asing tersebut sedang membahas penentuan persentase kepemilikan terhadap rencana pendirian perusahaan patungan. Jika tidak ada aral melintang, perusahaan berpelat merah ini akan melakukan penandatangan kesepatan pembentukan perusahaan patungan pada Januari 2016 atau Februari 2016.
"Kami akan menginvestasikan dana Rp 110 miliar untuk pendirian pabrik bahan baku tersebut," kata Farida Astuti Direktur Keuangan PT Kimia Farma Tbk di sela-sela acara BUMN Forum, Kamis (10/12). Lanjutnya, jangka waktu pembangunan pabrik ini selama dua tahun ke depan yang akan memproduksi bahan baku untuk enam jenis obat.
Farida bilang, industri farmasi sangat tergantung dengan kurs rupiah terhadap dolar AS karena mayroitas atau 90% bahan baku obat berasal dari impor. Misalnya, perusahaan melakukan belanja bahan baku impor rata-rata mencapai Rp 300 miliar per tahun.
Dus, untuk mendukung pabrik bahan baku obat, Kimia Farma akan mulai pembangunan pabrik obat ke-5 di kawasan industri Banjaran,Kapubaten Bandung,Jawa Barat pada tahun 2016. Pabrik ini memiliki kapasitas 3,6 miliar tablet per tahun dengan investasi Rp 978 miliar. “Pabrik ini akan operasional pada tahun 2018,” tambahnya.
Siapkan capex Rp 1 triliun
Tak hanya mendorong sektor hulu seperti deretan rencana pendirian pabrik. Farida menambahkan, pihaknya akan meningkatkan industri di sektor hilir seperti pembangunan apotik dan klinik yang dapat meningkatan penjualan obat.
Misalnya, KAEF akan menambah minimal 100 apotik dan 50 klinik di tahun mendatang dari renana bisnis perusahaan akan mendirikan lebih dari 700 apotik dan 350 klinik di akhir tahun 2015. “Secara keseluruhan, Kimia Farma menganggarkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar Rp 1 triliun di tahun 2016,” terangnya.
Dari deretan sejumlah aksi di sektor hulu dan hilir tersebut membuat Kimia Farma optimis akan pertumbuhan industri farmasi. KAEF menargetkan akan mencatat petumbuhan bisnis sebesar 16% di tahun mendatang. Asumsinya, pertumbuhan ekonomi terus berjalan membaik seperti menjelang akhir tahun ini.
Adapun, KAEF mencatat pendapatan penjualan sebesar Rp 3,47 triliun per kuartal III-2015 atau naik 12,9% dibandingkan posisi Rp 3,07 triliun per kuartal III-2014. Sedangkan, laba bersih tercatat naik 14,9% menjadi Rp 166,8 miliar per kuartal III-2015 dibandingkan posisi Rp 145,1 miliar per kuartal III-2014.
Farida mengklaim, pihaknya mencatat pertumbuhan laba yang tinggi pada kuartal III-2015 dibandingkan rata-rata pertumbuhan laba industri farmasi lain yang sebesar 9%. Ia mengakui, angka pertumbuhan sebesar 14% cenderung melambat tapi itu karena faktor perlambatan ekonomi dan pelemahan daya beli konsumen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News