Reporter: Merlinda Riska | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
JAKARTA. Alarm nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) milik PT Kimia Farma (Persero) Tbk sudah berulangkali berbunyi. Apalagi, sejak Jumat lalu, rupiah bertengger di atas level Rp 12.000. Padahal produsen obat-obatan plat merah itu mematok kurs dollar AS ke rupiah di rentang Rp 11.500–Rp 12.000 tahun ini.
Kimia Farma berkepentingan membikin patokan rentang rupiah karena hal itu demi memprediksi biaya produksi yang harus mereka keluarkan. Maklum, perusahaan farmasi itu masih mengandalkan bahan baku impor.
Dus, perusahaan itu mulai waspada ketika rupiah masih tercatat di level Rp 12.169 hingga 29 September 2014 kemarin. "Jika salah langkah maka laba bersih bisa tergerus," kata Direktur Utama Kimia Farma Rusdi Rosman kepada KONTAN, Senin (29/9).
Rusdi menggambarkan, biaya bahan baku impor mengambil porsi 80% dari harga pokok produksi (HPP). Sementara HPP setara dengan 60% harga jual. Tahun ini, target penjualan obat produksi sendiri Kimia Farma adalah Rp 1,2 triliun. Dengan gambaran persentase itu, berarti biaya bahan baku impor tahun ini sebesar Rp 576 miliar.
Perlu Anda ketahui, target penjualan obat produksi sendiri adalah bagian dari target total penjualan Kimia Farma tahun ini sebesar Rp 5 triliun. Sumber pemasukan lain adalah penjualan produk obat milik pihak ketiga.
Nah, perusahaan berkode KAEF di Bursa Efek Indonesia ini mengaku saat ini masih menunggu kedatangan bahan baku yang telah dipesan Agustus kemarin. Perusahaan itu memperkirakan pesanan datang tiga bulan kemudian, atau sekitar November. Paling cepat Oktober.
Sayang Rusdi, tak bisa memerinci volume pembelian bahan baku impor yang dipesan. Dia hanya bilang pesanan itu terdiri dari berbagai jenis dan satuan bahan baku obat untuk membuat obat pil dan cairan.
Malang, jual-beli bahan baku Kimia Farma dengan sang pemasok bahan baku menggunakan acuan dollar AS di pasar spot. "Belum tahu nih, kami harus bayar berapa. Kalau ternyata mengikuti rupiah yang tembus Rp 12.000, tentu nilai impor akan membesar," ujar Rusdi.
Tak belanja mesin
Jika pelemahan rupiah tak kunjung surut, Kimia Farma sudah memiliki tiga jurus untuk meminimalisasi lonjakan beban. Pertama, natural hedging. Prinsip natural hedging ala perusahaan itu adalah mengerek ekspor tatkala impor membesar. Oleh karena itu, Kimia Farma terus berupaya mengerek pendapatan ekspor agar mendaki dari single digit menjadi double digit.
Melongok laporan keuangan semester I-2014, penjualan ekspor Kimia Farma Rp 119,84 miliar. Nilai ini hanya setara dengan 6,34% terhadap total pendapatan Rp 1,89 triliun.
Kedua, meningkatkan efisiensi produksi dengan tidak mengalokasikan belanja mesin anyar pada sisa bulan akhir tahun ini. Sebagai gantinya, Kimia Farma akan berupaya mengoptimalkan penggunaan mesin produksi yang sudah dimiliki. "Kami akan menekan di biaya tetap untuk mengompensasi kenaikan biaya variabel yang didalamnya ada bahan baku impor. Saat ini kami sudah menekan COGS (cost of goods sold atau biaya penjualan) menjadi 72%," urai Rusdi.
Ketiga, menaikkan harga jual obat. Kimia Farma menerapkan strategi ini agar laba bersih tak tergerus.
Rencananya, perusahaan itu akan mengerek harga jual kepada konsumen secara bertahap mulai dari 5% hingga akhirnya menjadi 15%. Namun, Rusdi belum memutuskan kapan akan merealisasikan rencana ini. "Kami melihat tekanan rupiah masih temporer," ujar Rusdi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News