Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tarif cukai rokok naik tahun ini. Kenaikan tarif cukai rokok ini semakin menghimpot kinerja industri rokok nasional.
Seperti yang diketahui, pemerintah mengerek tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata 10% pada 2024. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 191 Tahun 2022 tentang perubahan kedua PMK No. 192/2021. Beleid ini mengatur tarif cukai dari berbagai rokok tembakau seperti sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot, serta tembakau iris.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachyudi mengatakan, industri rokok masih dalam kondisi suram mengingat kenaikan cukai terus-menerus terjadi secara agresif. Apalagi, kebijakan ini terjadi ketika kondisi ekonomi belum stabil dan daya beli sebagian masyarakat masih lemah.
Efek paling kentara dari kenaikan cukai adalah berkurangnya produktivitas pabrikan rokok di Indonesia. Berdasarkan data olahan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, produksi rokok nasional dalam 5 tahun terakhir berkurang 10,57% dari 355,84 miliar batang pada 2019 menjadi 318,21 miliar batang pada 2023.
Khusus Sigaret Putih Mesin (SPM) yang berada di bawah naungan Gaprindo, produksinya menyusut 35,74% dari 15,22 miliar batang pada 2019 menjadi 9,78 miliar batang pada 2023.
''Industri rokok mengalami penurunan kinerja yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir,'' kata Benny, Jumat (26/4).
Baca Juga: Nojorono Tobacco International Ungkap Dampak Kenaikan Cukai ke Industri Rokok
Lantaran kenaikan cukai terjadi di tengah kondisi daya beli masyarakat yang masih lemah, tidak sedikit konsumen yang memilih beralih ke produk rokok yang lebih murah. Bahkan, saat ini konsumsi rokok ilegal mulai lazim di masyarakat.
Hal ini jelas menyulitkan para produsen rokok, termasuk di segmen rokok putih. Para produsen rokok sudah berusaha sekeras mungkin dalam menekan biaya produksi. Namun, upaya ini tidak cukup menolong mengingat selisih harga antara rokok legal dan ilegal cukup lebar.
''Hanya kebijakan pemerintah yang dapat mengatasi masalah seperti ini,'' kata dia.
Benny melanjutkan, sembari melakukan efisiensi operasional, belakangan ini para produsen rokok juga aktif memperkuat penjualan ekspor demi mempertahankan bisnis.
Mengutip data olahan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor tembakau Indonesia tercatat sebesar US$ 1,49 miliar pada 2023 atau tumbuh 12,26% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya senilai US$ 1,32 miliar.
Sementara itu, PT Nojorono Tobacco International atau Nojorono Kudus menyebut, kenaikan cukai bukan sesuatu yang baru di industri rokok. Ketika cukai kembali naik, mau tidak mau para produsen rokok menyesuaikan harga jual di pasar secara serentak.
Nojorono merasa beruntung lantaran perusahaan ini fokus pada produksi sigaret kretek tangan (SKT) yang kenaikan cukainya lebih rendah ketimbang kategori rokok lainnya. Hal ini didasari oleh pertimbangan pemerintah bahwa SKT merupakan bagian dari industri padat karya. Asal tahu saja, kenaikan tarif CHT rokok jenis SKT berkisar antara 3,3% sampai 4,7% pada tahun ini.
"Dampaknya, kini pasar SKT menjadi alternatif pilihan pelaku bisnis untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang lebih memilih produk dengan banderol ramah di kantong, mengenyangkan dan tetap relevan," ujar Direktur Nojorono Tobacco International Arief Goenadibrata, Kamis (25/4).
Baca Juga: Tertekan Cukai Rokok, Simak Proyeksi Kinerja Gudang Garam (GGRM) pada 2024
Produsen rokok merek Class Mild dan Minak Djinggo ini berharap kebijakan kenaikan cukai berjalan sesuai tujuannya, yakni memastikan keseimbangan pengendalian konsumsi rokok, menjaga keberlangsungan tenaga kerja, dan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News