Reporter: Muhammad Julian | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana pengendalian penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan BBM bersubsidi mengemuka belakangan. Beberapa pihak mengusulkan agar Pertalite dan solar subsidi dibatasi penggunanya.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto misalnya, yang meminta agar mobil mewah dilarang menggunakan Pertalite dan solar bersubsidi.
“Agar penyaluran BBM bersubsidi benar-benar tepat sasaran dan dapat dinikmati secara penuh bagi masyarakat luas yang membutuhkan,” terang Mulyanto yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat dihubungi Kontan.co.id Senin (30/5).
Usulan pengendalian juga sempat disampaikan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Masukan DEN, Pertalite sebaiknya hanya dijual untuk kendaraan sepeda motor dan angkutan barang/jasa.
Sebelumnya, konsumsi Pertalite di masyarakat sempat melonjak. Dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VII pada April 2022 lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan bahwa realisasi penyaluran solar di Januari-Maret 2022 over quota 9,5%, sementara realisasi penyaluran Pertalite di Januari-Maret 2022 over quota 14%.
Baca Juga: Pembelian Pertalite dan Solar Bakal Pakai MyPertamina, Ini Alasannya
Konsumsi Pertalite yang melebihi kuota memunculkan dugaan pada sejumlah pihak akan adanya migrasi dari BBM kadar oktan atau research octane (RON) 92 jenis Pertamax ke Pertalite. Maklum, belakangan selisih harga antar keduanya melebar seiring harga minyak dunia yang mendaki.
Sejumlah badan usaha termasuk Pertamina memang sempat memutuskan untuk menetapkan kenaikan harga pada produk BBM di kelas research octane (RON) 92 yang memang notabenenya bukan merupakan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) maupun Jenis BBM Tertentu (JBT) atau BBM bersubsidi.
Produk dengan RON 92 seperti Pertamax masuk ke dalam kategori Jenis BBM Umum (JBU), BBM jenis ini tidak mendapat subsidi ataupun dana kompensasi dari pemerintah. Berbeda dengan JBU, harga Pertalite dan solar bersubsidi masih dijaga oleh pemerintah agar tidak naik.
Menyikapi lonjakan konsumsi Pertalite dan solar subsidi, Menteri ESDM dan Komisi VII DPR telah menyepakati penambahan kuota Pertalite dan Solar untuk tahun ini dalam Raker April 2022 lalu.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengaku sepakat bahwa Pertalite dan solar subsidi semestinya tidak dinikmati oleh ‘orang kaya’. Meski begitu, ia menilai bahwa opsi pembatasan kriteria pembeli Pertalite di lapangan kurang efektif dan perlu dikaji ulang.
Hal ini lantaran agak sulit membedakan pembeli kurang mampu yang memang pantas dan berhak membeli Pertalite dan BBM bersubsidi dengan pembeli kaya.
Definisi/kriteria yang kurang jelas, menurutnya bisa saja memicu masalah di lapangan seperti perdebatan antara operator SPBU dengan pembeli. Di sisi lain, opsi untuk mengerahkan petugas ekstra ataupun pelibatan kepolisian juga bisa kontradiktif dengan tujuan pengendalian penyaluran Pertalite dan solar subsidi, sebab opsi ini juga membutuhkan biaya yang ekstra.
Skeptisisme Komaidi akan wacana pembatasan pembeli Pertalite dan solar subsidi juga berkaca dari penerapan Sistem Monitoring dan Pengendalian (SMP) BBM melalui penggunaan teknologi informasi Radio Frequency Identification (RFID) yang sempat diberlakukan namun kurang efektif, menurut Komaidi.
Pemerintah melalui PT Pertamina pernah menggalakkan program Sistem Monitoring dan Pengendalian (SMP) BBM melalui penggunaan teknologi informasi Radio Frequency Identification (RFID).?
Sedikit kilas balik, dalam program tersebut, dilakukan pemasangan RFID pada mulut tangki kendaraan masyarakat. Program ini merupakan salah satu jurus untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seiring lonjakan subsidi BBM.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Batalkan Wacana Skema Subsidi Tertutup untuk Pertalite
“Jika bertolak dari kebijakan yg pernah diimplementasikan sebelumnya saya kira perlu dikaji ulang,” ujar Komaidi kepada Kontan.co.id Rabu (1/6).
Masukan Komaidi, pengendalian penyaluran Pertalite dan solar bersubsidi sebaiknya dilakukan dengan menerapkan skema subsidi langsung, yakni skema yang penyalurannya langsung diberikan kepada target penerima, bukan kepada barang.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi juga menilai bahwa pembatasan pembelian Pertalite dengan penetapan kriteria konsumen kurang efektif. Alasan Fahmy serupa dengan Komaidi: sulit merumuskan kriteria siapa yang berhak membeli Pertalite harga yang telah dikompensasi, terlebih ketika hal ini dipraktikkan di lapangan pada SPBU.
“Kecuali kriteria dibuat sederhana bahwa pengguna Pertalite dan solar subsidi adalah sepeda motor dan kendaraan angkutan umum orang dan barang. Di luar keduanya tidak diperbolehkan menggunakan Pertalite dan solar subsidi dan harus migrasi ke Pertamax,” tandas Fahmy.
Saat ini, pemerintah tengah menggodok aturan anyar untuk merevisi sejumlah hal dalam Peraturan presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, pendistribusian, dan harga jual eceran BBM. Belum ketahuan apa saja poin-poin revisi yang akan dimuat di dalam produk hukum baru ini nanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News