Reporter: Diemas Kresna Duta, Anna Suci Perwitasari | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Perusahaan minyak dan gas bumi (migas) Total E&P Indonesie meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menuntaskan masalah aturan terkait adanya kewajiban kontraktor minyak dan gas untuk menaruh devisa hasil ekspor (DHE) di bank lokal Indonesia. Selama ini pegangan Total E&P adakah kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). Sementara PSC tidak mengatur masalah DHE tersebut.
Head Development Media Relation Total E&P Indonesie Kristanto Hartadi mengatakan, sebagai kontraktor, perusahaannya tidak melakukan aktivitas ekspor atas minyak bagian PSCnya sesuai dengan kontrak. Karena itu, tegas Kristanto, Total E&P tidak wajib menaruh devisa ekspor di bank nasional.
Seperti diketahui, Bank Indonesia mewajibkan semua eksportir, untuk memasukkan devisa ekspor di bank di Indonesia. Kewajiban itu diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/17/2012 tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipan dengan pengelolaan (trust).
Beleid lainnya adalah PBI Nomor 14/25/2012 yang menjelaskan lebih lanjut mengenai penerimaan devisa ekspor yang tak melalui bank devisa nasional karena telah diperjanjikan sebelumnya dengan trustee di luar negeri. KKKS diberi waktu hingga 30 Juni 2013 agar menjalankan kewajiban. "Karena Total E&P tak mengekspor bagi hasil migas, sah-sah saja kami menyimpan di bank Singapura. Toh, kontrak tidak mengatur soal itu," katanya kepada KONTAN, Jumat (15/2).
Senada dengan Kristanto, Vice President Policy Government and Public Affairs Chevron, Yanto Sianipar mengatakan, Bank Indonesia sebaiknya mengecualikan kontraktor migas. Sebab minyak yang dimiliki kontraktor sudah menjadi bagian kontraktor sesuai dengan PSC.
Dia menyatakan, Bank Indonesia seharusnya menghormati kontrak bagi hasil antara kontraktor migas dengan pemerintah. "Kontrak itu menegaskan, kami berhak mengirimkan hasil penjualan ke mana pun, termasuk ke luar negeri," katanya. Untuk itu, Chevron berencana secepatnya melakukan membicarakan masalah ini kepada BI dan Kementerian ESDM.
Pengamat Migas Maizar Rahman mengatakan, sebenarnya PSC itu bisa saja direvisi asalkan tidak merugikan kontraktor migas. Untuk itu BI, kontraktor migas, dan Kementerian ESDM segera bertemu dan mencari jalan tengah atas masalah ini. "Jalan tengahnya misalnya devisa ekspor itu tidak 100% ditaruh di bank lokal, tetapi mungkin bisa 50% saja, sebab kalau dipaksakan juga tidak bisa, kan mereka sudah ada kontrak dengan bank di negara mereka juga," katanya.
Sumber KONTAN menyatakan, keengganan kontraktor migas menaruh devisa ekspor di bank lokal karena belum terlalu percaya pada aturan dan prosedur bank di Indonesia. Mereka khawatir masalah ini bisa menyulitkan di kemudian hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News