Reporter: Adinda Ade Mustami, Umar Idris | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Harga bensin non subsidi yang dijual Pertamina, Shell Indonesia, dan Total disorot Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Wasit persaingan usaha itu mencium gelagat Pertamina dan Shell menerapkan kartel harga Pertamax, Shell Super dan Performance 92 karena harganya tak menyesuaikan tren penurunan harga minyak dunia.
Menurut Nawir Messi, Ketua KPPU, ada dua indikasi awal praktek kartel pada penjualan Pertamax, Shell Super dan Performance 92. Pertama, tiga merek bensin non-subsidi berkadar oktan 92 milik Pertamina, Total, dan Shell itu tak kunjung turun dalam sebulan terakhir, kendati harga minyak mentah turun.
Ketiga merek itu sama-sama dijual Rp 9.950 per liter. Harga itu berlaku sejak akhir November 2014, tak lama setelah pemerintah menaikkan harga premium dan solar pada 18 November 2014. Semestinya harga bensin non-subsidi tersebut turun seiring dengan penurunan harga minyak dunia.
Nawir mengaku masih menunggu hitungan harga wajar bensin non-subsidi. "Yang jelas mestinya di bawah harga saat ini," kata Nawir kepada KONTAN, Selasa (23/12).
Sebagai gambaran, kemarin, harga minyak jenis WTI di bursa Nymex Amerika Serikat untuk pengiriman Februari 2015 naik 2,9% jadi US$ 56,85 per barel. Sementara harga Brent naik 2,3% menjadi US$ 61,49 per barel. Hitungan KONTAN, jika harga minyak dunia di kisaran US$ 70 per barel dalam satu bulan terakhir, harga BBM non-subsidi dengan oktan 92 ialah Rp 7.396,62 per liter. Harga tersebut belum menghitung komponen pajak.
Indikasi kedua, kesamaan harga jual bensin non subsidi di SPBU Pertamina, Shell dan Total, yakni Rp 9.950 per liter. Padahal ketiga perusahaan ini seharusnya saling berkompetisi dalam penjualan harga bensin tanpa subsidi. Nah, untuk menelusuri dugaan awal itu, kini KPPU sedang mengkaji penetapan harga bensin non subsidi khususnya di Stasiun Pengisian BBM Umum (SPBU) milik Pertamina, Shell dan Total.
Dalam waktu dekat, KPPU akan mengumumkan pantauannya dan memanggil Pertamina, Shell, dan Total. "Jika ditemukan ada kesepakatan ataupun berkoordinasi untuk menetapkan harga atau mengatur wilayah, ketiga perusahaan ini bisa dikatakan melakukan kartel," tutur Nawir.
Kecurigaan KPPU ditepis oleh PT Pertamina. Vice President Distribution Fuel and Marketing PT Pertamina, Suhartoko, mengatakan, tidak ada aturan yang mengharuskan perusahaan minyak milik negara itu untuk mengubah harga jual Pertamax setiap dua minggu sekali atau setiap bulan.
Suhartoko menjelaskan, pertimbangan harga jual Pertamax tidak berubah dalam sebulan terakhir ini karena perhitungan profit maupun perhitungan volume penjualan menunjukkan harga Pertamax belum perlu diturunkan. "Berapa hitungannya, itu kan rahasia perusahaan," kata Suhartoko.
Yang jelas, kata Suhartoko, harga jual Pertamax tak akan sama atau mendekati harga jual premium lantaran perbedaan kadar oktan. Sukartoko pun mempersilakan KPPU untuk mengirim teguran ke Pertamina atau menelusuri dugaan kartel tersebut.
Toh, Nawir tak menggubris argumentasi Suhartoko. "Tidak perlu mengikuti aturannya apa, jika ada persaingan, perubahan harga bahkan terjadi harian," kata Nawir.
Sedangkan Shell Indonesia hingga berita ini ditulis belum memberikan keterangan. Sri Wahyu Endah, Media Relation PT Shell Indonesia, enggan menjawab pertanyaan KONTAN dan mengalihkan ke pejabat yang lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News