kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kuartal III-2019, e-commerce besutan lokal masih perkasa


Kamis, 17 Oktober 2019 / 19:50 WIB
Kuartal III-2019, e-commerce besutan lokal masih perkasa
Kuartal III-2019, e-commerce besutan lokal masih perkasa


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peta persaingan e-commerce di pasar domestik kian riuh, berdasarkan riset Iprice terbaru, persaingan pasar e-commerce di Indonesia masih dikuasai pemain lama. Tokopedia pada kuartal III tahun ini menguasai 25% pengunjung desktop atau setara dengan 65,95 juta pengunjung.

Shopee mengekor di posisi kedua dengan penguasaan pasar 21% dengan rerata kunjungan 55,96 juta pengunjung, kemudian disusul Bukalapak dengan 42,87 juta pengunjung, Lazada 27,99 juta pengunjung, Blibli dengan 21,39 juta, JD.ID dengan 5,52 juta dan Bhinneka dengan 5,04 juta pengunjung, Sociolla 3,99 juta pengunjung, Orami sebanyak 3,91 juta pengunjung dan Ralali sebanyak 3,58 juta pengunjung.

Dari sepuluh teratas pemain e-commerce besar nyatanya start up besutan lokal masih mampu menguasai, hanya saja pangsa pasarnya tak terlalu besar. Asal tahu setengah dari 10 daftar e-commerce terbesar itu mendapatkan suntikan dana dari investor Tiongkok, misalnya Shopee dari Tencent, Tokopedia dan Lazada mendapat suntikan dari Alibaba dan JD ID dari JD.

Baca Juga: Ditjen Pajak akan bekerjasama dengan BI untuk data e-commerce

Christin Djuarto, Director Shopee Indonesia menyebut bahwa jumlah penjual aktif di Shopee mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Asal tahu saja, banyak e-commerce yang menguasai pasar domestik mendapatkan suntikan dari investor asal Tiongkok.

“GMV Kami di kuartal II mencapai US$ 3,8 miliar tetapi itu untuk regional, kami hampir tidak pernah mengeluarkan data khusus Indonesia. Tetapi active seller di Indonesia lebih dari 2,5 juta orang,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (17/10)

Sementara itu, Bukalapak masih menganggap capaiannya cukup baik. Menurut perusahaan besutan Achmad Zaky ini peta persaingan e-commerce secara relatif sudah memiliki pasar masing-masing. Karena tidak beririsan tersebut, manajemen lebih fokus untuk menggarap segmen komunitas miliknya.

Baca Juga: Penerimaan pajak UMKM merosot pasca tarif diturunkan jadi 0,5%

Teddy Oetomo, Chief of Strategy Officer Bukalapak menyampaikan menjadi sustainable e-commerce selain mencatat kenaikan pertumbuhan GMV pihaknya juga melangkah lebih jauh dengan menghasilkan kenaikan dalam monetisasi. Perusahaan juga berfokus untuk memperkuat profitabilitas yang terus berjalan.

“Gross profit kami di pertengahan 2019 naik tiga kali dibandingkan pertengahan 2018. Kami mengurangi setengah kerugian dari EBITDA selama 8 bulan terakhir ini,” ujarnya.

Asal tahu saja, sampai semester I Bukalapak mencatatkan annualized run rate paid GMV sebesar US$ 5 miliar dengan lebih dari 2 juta transaksi per harinya. Perusahaan terus mengembangkan Mitra Bukalapak yang sudah mencapai 2 juta mitra yang tersebsar di 477 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

Sementara itu, market leader yakni Tokopedia mencari pendekatan yang berbeda. Perusahaan yang sudah memiliki 90 juta pengguna tersebut mulai melihat potensi menggarap segmen pedesaan.

Dengan strategi tersebut, manajemen Tokopedia berharap 10 tahun ke depan pihaknya bisa berkontribusi hingga 5% dari perekonomian Indonesia.

William Tanuwijaya, Co Founder dan CEO Tokopedia bahkan menargetkan GMV perusahaannya tahun ini bisa mencapai Rp 222 triliun. Jumlah tersebut naik 204,1% dibandingkan catatn pada tahun lalu yang hanya Rp 73 triliun.

Dianta Sebayang, Pengamat Ekonomi dari Universitas Negeri Jakarta menyebut Indonesia memang merupakan pasar yang sangat potensial bagi tumbuh kembangnya e-commerce. Dengan pasar yang besar, serta populasi berusia muda, wajar bila Indonesia menjadi pasar paling besar di kawasan.

Baca Juga: KoinWorks salurkan pinjaman Rp 230 miliar per bulan hingga Kuartal II-2019

Ia menyampaikan dampak dari perkembangan e-commerce sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh pelaku industri tersebut saja, tetapi juga UMKM sehingga menggerakkan ekonomi riil.

Sehingga perkembangan ekonomi digital tidak akan pernah lepas dari sektor riil. “Kalau e-commerce tumbuh itu UMKM juga tumbuh, itu penting kalau ekonomi digital tumbuh tapi sektor riil tidak tumbuh ada yang salah,” ujarnya.

Yang keliru menurutnya bila e-commerce yang tumbuh dan berkembang justru menjual produk-produk impor yang berimbas mematikan usaha lokal. Oleh karena itu pemerintah harus memperketat penjualan produk impor dan produk non SNI untuk melindungi kepentingan nasional.

Baca Juga: BKPM: Ekonomi digital akan menjadi massa depan investasi langsung di Indonesia

Saat ini persoalan yang paling mendasar menurutnya adalah pemerataan ekonomi secara menyeluruh, pasalnya pertumbuhan ekonomi digital khususnya e-commerce juga sedikit terhambat adanya barrier dari berbagai sisi.

Contohnya dari sisi infrastruktur yang membuat sistem logistik tidak merata diberbagai daerah sehingga membuat ongkos pengiriman menjadi tidak kompetitif.

Oleh karena itu, dirinya menyebut saat ini selain pemerintah perlu melakukan pendampingan terhadap pelaku ekonomi digital, tetapi juga memberikan edukasi dan infrastruktur kepada masyarakat untuk menyambut era digital tersebut. Sehingga nantinya potensi ekonomi  digital dan kontribusinya terhadap PDB juga berdampak signifikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×