Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komisi VII DPR RI sepakat target produksi siap jual (lifting) minyak nasional pada tahun 2020 sebesar 755.000 barel per hari (bph). Angka tersebut lebih tinggi ketimbang target dalam nota keuangan yang berada di angka 734.000 bph.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengakui, target tersebut sulit tercapai. Kendati begitu, Jonan sepakat penentuan target lifting minyak diambil dari batas maksimal perkiraan berdasarkan kondisi riil, mengingat lifting hingga akhir tahun ini diproyeksi mencapai 750.000 bph.
“Kalau exceeding itu (775.000 bph), kita sudah tahu kemungkinan sulit sekali, kecuali ada hal-hal luar biasa,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi VII, Rabu (28/8).
Pada kesempatan yang sama, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menuturkan, lifting minyak nasional turun sekitar 3%-4% per tahunnya pada 2017-2019.
Dwi merinci, laju penurunan produksi (decline rate) tercatat sebesar 3,1% pada 2017, 3,3% pada 2018, dan 3,1% pada tahun ini. Sementara pada tahun depan, asumsi decline rate sebesar 2,7%.
Menurut Dwi, dengan target 734.000 bph saja, angka itu sudah jauh lebih tinggi dari usulan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sebesar 672.000 bph. “Kami dorong, karena masih ada gap yang menjadi PR kami,” ujar Dwi.
Untuk mencapai target tersebut, Dwi menyampaikan bahwa secara umum, peningkatan produksi akan dikerjakan dengan menambah pengeboran sumur, kegiatan sumur kerja ulang (workover), dan investasi.
“Ya kita harus dorong agar KKKS lebih agresif, meningkatkan investasinya,” tutur Dwi.
Dwi bilang, pihaknya juga akan mendorong agar selisih lifting antara usulan dan target masuk dalam program kerja dan anggaran (work plan and budget/WP&B) KKKS. “Rencananya di WP&B yang akan kami approve di Desember ini, itu harus isi gap ini,” jelas Dwi.
Baca Juga: Hulu migas Indonesia mulai kembali dilirik investor, saatnya eksplorasi dimassifkan
Adapun, rapat kerja tersebut juga memutuskan target lifting gas sebesar 1,19 juta barel setara minyak per hari (barrel oil equivalent per day/boepd). Dalam hal ini, Jonan memberikan catatan lifting gas sangat dipengaruhi dengan perkembangan harga gas dunia.
“Tantangannya satu, kalau harga gas terlalu rendah bisa curtailment, dikurangi produksinya,” ungkap Jonan.
Adapun, pada tahun 2020 mendatang, harga minyak acuan Indonesia alias Indonesia Crude Price (ICP) dipatok maksimal sebesar US$ 63 per barel. Angka itu lebih rendah dibandingkan dalam nota keuangan yang diasumsikan sebesar US$ 65 per barel.
Menurut Jonan, di tengah kondisi perang dagang serta perlambatan ekonomi global, ICP tahun depan diasumsikan akan mengalami penurunan. Jonan mengusulkan, harga ICP minimal sebesar US$ 60 per barel.
Baca Juga: SKK Migas tetap ingin ExxonMobil bisa produksi sampai 250.000 bph
Dengan perubahan asumsi ICP tersebut, penerimaan negara dari lifting minyak akan menurun. Apabila asumsi awal dengan listing 734.000 bph dan ICP US$ 65 per barel penerimaan negara bisa mencapai Rp 20 triliun, maka dengan asumsi ICP US$ 60 per barel, penerimaan negara diproyeksi turun Rp. 5 triliun.
Kendati begitu, Rapar Kerja Komisi VII dan Kementerian ESDM akhirnya memutuskan asumsi ICP tahun 2020 masih dalam rentang. Yakni berkisar pada US$ 58-US$ 63 per barel.
Selanjutnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Ridwan Hisjam mengatakan, hasil dari raker tersebut akan di bawa ke Badan Anggaran DPR sebelum ditetapkan menjadi APBN tahun 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News