Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Jumlah penumpang udara di Indonesia terus bertumbuh setiap tahun. Hal ini sejalan dengan bertumbuhnya ekonomi dan masyarakat kelas menengah. Ini menjadi peluang bagi para pemain di bisnis angkutan udara. Namun, apabila maskapai penerbangan tidak menguasai menajemen keuangan dan strategi bisnis yang baik, maka bersiaplah menghadapi turbulensi.
Pasar bisnis penerbangan Indonesia sejatinya masih prospektif. Soalnya, jumlah penumpang pesawat masih tumbuh tinggi, di atas 10% per tahun. Tak heran bila banyak perusahaan terus melakukan ekspansi. Salah satunya maskapai PT Lion Mentari Air.
Pada 2011, Lion Air mulai melakukan ekspansi masif dengan membeli ratusan unit pesawat, yang meliputi 201 unit Boeing B-737 MAX dan 29 unit Boeing Next Generation 737-900 ER. Nilai investasinya fantastis, mencapai Rp 19,52 triliun.
Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait bilang, langkah tersebut untuk menjawab kebutuhan pasar saat ini dan mengantisipasi kenaikan penumpang
yang terus naik lima tahun terakhir. "Hal ini dipicu pertumbuhan ekonomi yang stabil sehingga jumlah kelas ekonomi menengah ikut bertumbuh," ujar dia.
Apalagi, pada 2015 nanti, Indonesia akan menghadapi ASEAN Open Sky. Saat itu, apabila pemain lokal tak siap mengantisipasinya, maka akan menjadi penonton di rumah sendiri. Para maskapai yang berasal dari negara ASEAN akan mudah memasuki wilayah Indonesia. "Kita harus mempersiapkan ketika saat itu tiba," ucap Edward.
Selain Lion Air, maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia Tbk juga menyiapkan langkah strategis dengan menambah pesawat. Tahun ini saja,
Garuda siap mendatangkan 24 unit pesawat baru yang meliputi empat Boeing 777-300 ER, tiga unit Airbus A-330, sepuluh unit Boeing 737-800 NG dan tujuh unit Bombardier CRJ. Investasinya sekitar Rp 21,4 triliun.
Langkah Lion dan Garuda ini merupakan salah satu strategi menangkap peluang pasar yang besar. Kementerian Perhubungan mencatat, jumlah
penumpang pesawat sepanjang 2011 sebanyak 66,06 juta. Angka ini naik 13,62% dari jumlah penumpang di 2010. Di 2012 dan 2013, jumlah penumpang diprediksi naik 15%-20%.
Proyeksi pertumbuhan itu tentu membikin pengelola maskapai sumringah. Namun, pailit Batavia Air dan juga maskapai lain yang terjadi sebelumnya menunjukkan, jumlah penumpang bukan satu-satunya faktor.
Pengamat penerbangan, Ruth Hanna Simatupang, mencatat hampir semua maskapai penerbangan mengalami masalah keuangan. Tak hanya perusahaan maskapai penerbangan milik keluarga seperti Batavia Air, tetapi juga maskapai besar Garuda Indonesia.
Ada banyak penyebab yang membuat keuangan perusahaan penerbangan tak begitu sehat. Pertama, panjangnya rantai pembelian pesawat karena melibatkan broker atau calo. Akibatnya, harga yang harus dibayar lebih mahal dari seharusnya. Kedua, biaya perawatan pesawat mahal. Ketiga, adanya perang tarif tiket penerbangan antar maskapai.
Keempat, biasanya produsen pesawat meminta premi asuransi tinggi kepada maskapai di Indonesia, baik yang akan membeli secara mengangsur maupun leasing atau sewa-operasi. Hal ini karena produsen memandang, sistem keamanan udara kita masih kurang bagus.
Umumnya, pembelian pesawat oleh maskapai penerbangan di Tanah Air memakai pola leasing. Ini yang juga sangat membebani keuangan perusahaan.
Harga untuk membeli satu unit pesawat memang tidak murah. Berdasarkan riset KONTAN, harga pesawat Boeing 777 sekitar US$ 150 juta per unit,
Airbus 330 (US$ 100 juta), Boeing 737 (US$ 50 juta), dan Bombardier (US$ 20 juta hingga US$ 25 juta).
Ini membuat banyak maskapai Indonesia hanya bisa melakukan leasing. Padahal, skema ini bisa mengganggu stabilitas finansial jika biaya leasing yang ditanggung maskapai sangat besar sementara harga tiket rendah.
Pengamat dunia penerbangan, Samudra Sukardi, bilang, ketika biaya sewa tinggi maka pemilihan rute menjadi kunci. "Dalam kasus Batavia Air,
manajemen rute dan finansial yang kurang tepat menjadi penyebab," ujar dia.
Memang ada rute gemuk, akan tetapi ada pula rute yang sepi. Hal ini menuntut maskapai mampu melakukan subsidi silang pendapatan.
Tengku Burhanuddin, Sekretaris Jenderal Indonesian National Air Carriers Association (INACA), mengungkapkan maskapai harus bisa menerapkan
efisiensi terhadap jumlah pesawat. "Harus perhitungkan antara rute yang diambil dan jumlah pesawat, jangan hanya asal tambah pesawat," ungkap dia.
Dunia penerbangan Indonesia tentu tak ingin menyaksikan maskapai nasional terjerembab berkali-kali dan tumbang akibat krisis finansial. Dan tentu ironis karena ini terjadi justru saat jumlah penumpang tumbuh pesat. (Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News