Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Lampu kuning menyala di langit industri penerbangan Indonesia, begitu Batavia Air diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta, per Rabu
(31/1) pukul 00:00 WIB.
Pengadilan menyatakan, maskapai ini punya utang jatuh tempo kepada International Lease Finance Corporation (ILFC) senilai US$ 4,68 juta. Utang itu terjadi setelah PT Metro Batavia, pemilik Batavia, meneken perjanjian sewa-menyewa pesawat atau aircraft lease agreement dengan ILFC, pada 20 Desember 2009.
Kebangkrutan Batavia Air di awal tahun ini mengingatkan kita pada kasus Adam Air pada 2008. Bedanya, Adam Air ditutup lantaran serangkaian kasus kecelakaan yang menimpa pesawat itu. Tapi pangkalnya juga sama, yaitu krisis finansial yang menyebabkan manajemen tak mampu merawat pesawat dengan layak.
Pada awal 2011, Mandala Air, yang saat itu mayoritas sahamnya dimiliki Cardig Internasional Aviation, juga sempat tak terbang akibat krisis finansial. Kala itu, kreditur Mandala mengajukan gugatan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Akhirnya, PT Mandala Airlines, pemilik maskapai Mandala Air, selamat dari ancaman pailit. Di Akhir Februari 2011, mayoritas kreditur Mandala menerima proposal perdamaian maskapai penerbangan itu untuk mengonversi piutang mereka menjadi saham.
Tidak hanya itu, dua investor baru juga masuk, yakni Saratoga Capital yang menguasai 51,3% saham dan Tiger Airways yang mengempit 33% saham. Adapun 15,7% saham masih dimiliki pemegang saham Mandala sebelumnya dan beberapa kreditur. Dari sinilah Mandala kembali bernafas dan akhirnya terbang lagi pada Februari 2012 setelah berhenti terbang sejak Januari 2011.
Kalau mau merunut, rontoknya Adam Air, Batavia Air, dan Mandala Air itu lantaran ketidaksiapan maskapai dalam menghadapi ketatnya persaingan. Ketiga maskapai itu sama-sama menyasar segmen penerbangan tarif murah alias low cost carrier.
Untuk menjadi pemenang di segmen ini, maskapai harus jeli melihat fluktuasi harga minyak dan nilai tukar rupiah. Maklum, untuk terbang selama satu jam saja, perlu ongkos US$ 3.200. Nah, dengan bermain di tiket murah, jumlah rute dan intensitas terbang pun patut dikalkulasi agar mampu menutup biaya operasional sekaligus menangguk untung.
Namun, untuk terbang di banyak rute jelas butuh banyak pesawat. Masalahnya, biaya pembelian atau leasing pesawat hingga sewa apron juga tidak semakin murah, justru sebaliknya. Apalagi, biaya perawatan pesawat demi keselamatan penerbangan, mutlak harus dipenuhi.
Persaingan di segmen penerbangan murah juga semakin ketat karena terlalu banyak pemain.
Memang pasar bisnis penerbangan masih berpotensi tumbuh. Kementerian Perhubungan mencatat, jumlah penumpang pesawat sepanjang 2011 sebanyak 66,06 juta. Realisasi ini naik 13,62% dibandingkan jumlah penumpang pesawat 2010. Di 2012 dan 2013, jumlah penumpang pesawat diprediksi naik 15%-20%.
Dari sisi bisnis, pertumbuhan jumlah penumpang itu adalah peluang besar bagi maskapai. Namun, sebagai bisnis padat modal, teknologi dan regulasi, maskapai jangan salah langkah. "Jika salah strategi, kondisi perusahaan langsung dalam bahaya," ujar Samudra Sukardi, pengamat penerbangan. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News