kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Melihat tantangan pemanfaatan gas bumi untuk bahan bakar transportasi


Minggu, 08 Maret 2020 / 18:51 WIB
Melihat tantangan pemanfaatan gas bumi untuk bahan bakar transportasi
ILUSTRASI. Antrean pengisian bahan bakar gas untuk bajaj di stasiun pengisian gas milik PGN di Jakarta, Rabu (13/11). Gas bumi memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi transportasi.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gas bumi memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi transportasi, meskipun terdapat tantangan tersendiri dalam implementasinya di lapangan.

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menilai, tantangan terbesar optimalisasi gas bumi di sektor transportasi Indonesia saat ini adalah ketersediaan infrastruktur atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang masih terbatas.

Ia berkaca pada armada Transjakarta yang sebagian menggunakan bahan bakar gas (BBG). Sayangnya, di Jakarta yang notabene berstatus sebagai ibu kota negara pun belum memiliki SPBG yang memadai dari segi kuantitas. Hal ini tidak sebanding dengan jumlah kendaraan, khususnya Transjakarta pengguna BBG yang terus meningkat.

Baca Juga: Terkait penggunaan gas untuk truk, begini respons pengusaha truk

“SPBG di Jakarta hanya ada di daerah tertentu saja. Tak heran sering terjadi antrean panjang Transjakarta yang mau mengisi BBG,” ungkap dia ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (6/3).

Akibatnya, jumlah Transjakarta yang memakai BBG pun berkurang. Untungnya, moda transportasi ini beralih ke bahan bakar biosolar yang juga lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar minyak (BBM) lainnya.

Terlepas dari itu, kebutuhan akan gas untuk transportasi merupakan sebuah keniscayaan. Pasalnya, gas bumi tidak memiliki efek polusi udara. Risiko polusi suara dari mesin kendaraan pun bisa diminimalisir dengan penggunaan energi gas bumi.

Djoko bilang, untuk saat ini penting bagi kendaraan umum seperti bajaj, taksi, hingga bus, agar beralih menggunakan BBG. Namun, kembali lagi, pemerintah maupun perusahaan yang memasok gas untuk kendaraan tadi harus benar-benar menyiapkan berbagai infrastruktur pengisian gas bumi dengan maksimal.

Berdasarkan data dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), perusahaan ini memiliki 64 SPBG dan 4 Mobile Refueling Unit (MRU) di seluruh Indonesia per kuartal III-2019.

Anggota Komite BPH Migas Jugi Prajogio mengatakan, ada beberapa hal penting yang menjadi kunci sukses distribusi gas bumi untuk sektor transportasi. Salah satunya tentu dengan memaksimalkan distribusi dari SPBG yang ada sembari membangun fasilitas yang baru.

Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk menyalurkan gas. Ini mengingat beberapa SPBU juga memiliki fasilitas pengisian BBG untuk transportasi.

Namun, adakalanya lokasi SPBU berada jauh dari pipa transmisi gas bumi. Jika demikian, maka distribusi gas bumi untuk transportasi bisa menggunakan Gas Transportation Modul (GTM). “Badan usaha juga bisa menyiapkan satu dispenser khusus untuk gas supaya bisa didistribusikan ke transportasi,” terang Jugi, Minggu (8/3).

Ia juga bilang, harga BBG untuk transportasi perlu ditinjau ulang supaya lebih menarik bagi investor.

Tak ketinggalan, idealnya setiap produsen kendaraan sudah menyiapkan paket lengkap untuk penggunaan gas, misalnya converter kit dan tabung penampung gas. “Converter kit yang berbeda merek dengan pabrikan mobil akan mengakibatkan hangusnya garansi,” tutur Jugi.

Baca Juga: Penurunan harga gas untuk pembangkit listrik memungkinkan ada regulasi baru

BPH Migas sendiri masih fokus pada upaya memperbanyak pipa transmisi dan distribusi gas bumi di dalam negeri. Jugi berpendapat, percepatan program lelang Wilayah Jaringan Distribusi (WJD) dan Wilayah Niaga Tertentu (WNT) pada akhirnya dapat membantu implementasi penggunaan gas bumi untuk transportasi.

Ia beralasan, pengelola WJD dan WNT nantinya wajib menyediakan gas bumi untuk sektor transportasi, di samping rumah tangga dan pelanggan kecil.

Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan menyampaikan, di luar tantangan yang ada, gas bumi sangat diperlukan bagi kendaraan khususnya truk.

Baca Juga: Pertamina: Digitalisasi SPBU sudah mencapai 70%

Ia pun mengaku, selama ini pihak Aptrindo beberapa kali menemui masalah saat menggunakan BBM bersubsidi. Salah satunya ketersediaan BBM bersubsidi yang kerap terganggu atau timbul kelangkaan sehingga menyulitkan pengguna kendaraan truk.

Selain itu, penyimpangan terhadap BBM bersubsidi juga tergolong rawan. Bahkan, pengemudi truk sendiri bisa saja ikut melakukan tindak penyimpangan seperti menyelundupkan BBM.

“Kalau gas itu tidak bisa dijual lagi sesudah dibeli. Penggunaan gas juga akan mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” ucap dia, Jumat (6/3).

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radi berkomentar, optimalisasi penggunaan gas bumi di sektor transportasi tidak akan bertabrakan dengan program peningkatan kendaraan listrik di Indonesia.

Sebagai sesama pengguna energi ramah lingkungan, jumlah kendaraan berbahan bakar gas maupun listrik akan tumbuh signifikan di masa mendatang. Kedua jenis kendaraan ini pun saling melengkapi dari sisi karakteristik.

“Indonesia sangat perlu diversifikasi penggunaan energi, termasuk di sektor transportasi. Sangat baik jika kendaraan BBG dan listrik bisa berjalan beriringan,” jelas dia, Jumat lalu.

Baca Juga: Perusahaan Gas Negara (PGAS) teken kerjasama dengan pengusaha truk Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×