Reporter: Dimas Andi, Filemon Agung | Editor: Cipta Wahyana
KONTAN.CO.ID - Transformasi energi global terus bergulir. Demi mengurangi emisi dan berdamai dengan iklim, penduduk dunia mulai memperbesar porsi energi terbarukan dan mengurangi pemakaian energi berbasis fosil.
Statkraft, produsen energi terbarukan global yang memiliki jaringan operasional di 16 negara memproyeksikan, dalam tiga dekade mendatang, energi terbarukan yang berasal dari pembangkit listrik berbasis tenaga surya dan tenaga angin akan mendominasi pemakaian energi global. Bahkan, biaya untuk pengadaan pembangkit energi terbarukan semakin rendah. Seiring dengan itu, konsumsi energi fosil bakal menyusut.
Indonesia, yang menjadi bagian dari komunitas global, tentu akan berada dalam pusaran transformasi energi. Sejatinya, Negeri Nusantara menyimpan sumber energi hijau yang berlimpah. Ketersediaan sumber energi merupakan poin kunci dalam proses peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma, mengungkapkan Indonesia memiliki potensi untuk enam kluster energi hijau. Jenis energi tersebut antara lain energi matahari, bioenergi, panas bumi, angin dan air. "Total kapasitas yang dapat dikonversikan menjadi energi sekitar 442 gigawatt (GW)," ungkap dia kepada KONTAN, Rabu (20/11).
Di antara seluruh potensi sumber energi, pemanfaatan energi laut masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia membutuhkan kajian mendalam, termasuk dari sisi teknologi, untuk memanfaatkan potensi energi ramah lingkungan. "Mengingat regulasi sektor energi melibatkan lintas Kementerian, sebaiknya diatur pada level Undang-Undang tentang Energi Terbarukan dan didukung Peraturan Presiden," ungkap Surya.
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM FX Sutijastoto mengatakan, sumber energi terbarukan di Indonesia sangat beragam dan bervariasi. Ambil contoh di Sumatra yang kaya akan energi air karena terdapat beberapa sungai, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pembangkit listrik minihidro.
Ada pula wilayah Selayar, Morotai, hingga Halmahera yang kaya akan energi angin. Bukan hanya itu, Indonesia memiliki kekayaan energi biomassa. Energi ini tak hanya memanfaatkan sampah kota yang diproses menjadi biomassa, melainkan sisa-sisa tumbuhan di perkebunan.
Agar potensi itu maksimal, pemerintah berupaya mengintegrasikan pengembangan energi terbarukan dengan pembangunan ekonomi. "Jadi strategi pemerintah adalah membangun pusat ekonomi baru di wilayah sekitar sumber energi terbarukan. Ini bisa mendorong harga energi terbarukan menjadi lebih kompetitif," ujar Sutijastoto kepada KONTAN, Rabu (20/11).
Pemerintah memang punya target pemakaian sumber energi terbarukan sebanyak 23% pada tahun 2025 nanti. Saat ini, angkanya masih berkutat di level 12%.Oleh karena itu, pemerintah mendukung berbagai upaya percepatan implementasi energi terbarukan di tanah air, termasuk dukungan dari korporasi BUMN dan swasta.
Setiap tahun, menurut Sutijastoto, kebutuhan dana untuk pengembangan EBT bisa mencapai Rp 30 triliun. Di sisi lain, anggaran di Kementerian ESDM hanya mencapai Rp 7 triliun. Adapun anggaran untuk Direktorat Jenderal EBTKE hanya Rp 1,3 triliun. "Kalau tidak ada dukungan investasi dari pihak swasta, energi terbarukan susah diterapkan," imbuh dia.
Sebagai salah satu produsen energi, PT Pertamina (Persero) juga menyadari pentingnya menyediakan energi ramah lingkungan. Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Fajriyah Usman, mengemukakan Pertamina memiliki divisi Research & Technology Center untuk mengurus berbagai inovasi termasuk pengembangan energi terbarukan. Ketika inovasi itu akan masuk ke agenda bisnis perusahaan, maka akan dianalisis terlebih dahulu melalui Divisi Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko.
Kini, Pertamina sedang fokus pada pengembangan EBT dalam bahan bakar nabati berupa pencampuran bahan bakar solar dengan minyak kelapa sawit sebanyak 20% atau B20 dan 30% atau B30 yang tidak lama lagi akan bergulir.
Pertamina sudah menyalurkan B20 melalui 111 terminal BBM dengan pencampuran fatty acid methyl esters (FAME) di 29 titik di Indonesia. "Penggunaan FAME sebagai bahan bakar nabati ke depan dapat menurunkan kebutuhan solar dalam skala nasional karena tergantikan oleh bahan bakar nabati yang terbarukan dan sumbernya banyak di Indonesia," ujar dia, Selasa (19/10) lalu.
Sejak lama, Pertamina juga mengembangkan energi geothermal atau panas bumi melalui anak usahanya PT Pertamina Geothermal Energy. Sampai saat ini, Pertamina mengelola 14 wilayah kerja kuasa pengusahaan dan dua wilayah kerja izin panas bumi. "Dari wilayah kerja tersebut, total kapasitas terpasang mencapai 1.877 mega watt (MW)," imbuh Fajriyah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News