kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menambang lahan gambut hingga ke tengah rawa


Senin, 23 November 2015 / 18:55 WIB
Menambang lahan gambut hingga ke tengah rawa


Reporter: Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo

Matahari masih malu-malu menampakkan diri ketika Wahono mulai menyiapkan perahunya. Dengan sigap, ia menguras air yang menggenangi lantai perahu berukuran 2 m x 5 m itu. Sejurus kemudian, pria berusia 44 tahun ini segera menyalakan mesin perahu. Suara mesin perahu menderu saat Wahono mulai menjalankan perahunya.

Dari hulu sungai Tuntang, tak jauh dari jembatan Sungai Tuntang yang menghubungkan jalur Semarang-Solo, Wahono mengarahkan perahunya menuju ke tengah Rawa Pening. Rawa Pening merupakan danau seluas 2.770 hektare (ha) yang terletak di Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga, Jawa Tengah.

Perjalanan menuju lokasi tujuan Wahono ternyata tidak mudah. Selain jalur yang sempit, laju perahu terhadang oleh kumpulan eceng gondok yang membentuk gugusan seperti pulau. Dengan lincah, Wahono  yang duduk di bagian belakang perahu bermanuver dan membelokkan perahunya untuk menghindari pulau-pulau eceng gondok yang bertebaran di Rawa Pening. Tak jarang, warga Dusun Sumurup, Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang ini sengaja menerobos sekumpulan eceng gondok berukuran kecil.

Mengemudikan perahu menyusuri Rawa Pening bukan hal yang sulit bagi Wahono. Maklum, aktivitas ini sudah menjadi rutinitas sejak 23 tahun yang lalu. Sejak itu pula, Wahono melakoni pekerjaan sebagai penambang gambut.

Ya, tujuan perjalanan Wahono ke tengah dana Rawa Pening memang untuk mencari tanah gambut. Gambut di Rawa Pening terbentuk dari sisa-sisa tanaman air dalam danau, seperti eceng gondok yang mati dan membusuk. Oleh para penambang gambut di Dusun Sumurup, tanah gambut yang mengandung bahan organik tinggi ini diambil untuk dijadikan bahan dasar pupuk organik maupun media tanam jamur.

Setelah hampir satu jam perjalanan, Wahono tiba di tempat tujuan. Di lokasi tersebut, sudah ada sepuluh penambang lain yang tiba terlebih dahulu. Di atas sebidang tanah berwarna hitam yang mencuat di permukaan air, mereka sibuk mencangkul gambut dan memindahkannya ke atas perahu masing-masing.

Wahono bercerita, di musim kemarau, menambang gambut relatif lebih mudah. Lantaran debit air menurun dan ketinggian air berkurang, seringkali ada sebidang tanah gambut yang muncul ke permukaan. Dengan begitu, penambang gambut hanya perlu mencangkul tanah gambut tersebut.

Lain halnya saat musim hujan. Sabar Widodo, penambang gambut yang lain, mengatakan,   debit air rawa saat musim hujan berlimpah. Ketinggian air pun bertambah. Alhasil, penambang jarang menemukan tanah gambut yang naik ke permukaan.

 Mau tak mau, pria berusia 50 tahun ini mengatakan, penambang harus mengeruk gambut dari dalam air menggunakan jaring yang dipasang pada sebilah bambu panjang. “Istilahnya, nyeser,” kata pria yang menjadi penambang gambut sejak 1998 lalu ini.

Menyeser gambut di rawa tentu tidak semudah menyeser ikan di kolam pemancingan. Selain alat seser cukup berat dan butuh waktu lebih lama, hasil seseran gambut pun tidak  bisa banyak. Sebab, gambut hasil menyeser mengandung banyak air. Saat kering, jumlah gambut menyusut banyak.

Pernah booming di era 1990-an

Wahono maupun Widodo biasanya hanya menambang gambut satu kali dalam sehari. Berangkat jam 05.00 pagi, mereka sudah kembali sekitar pukul 08.00. Sekali menambang, mereka bisa memperoleh gambut sebanyak 5 m3 sesuai kapasitas perahu.

Berbeda dengan Widodo yang merupakan penambang mandiri, penambang seperti Wahono bekerja untuk pengusaha gambut. Ia memperoleh penghasilan berdasarkan jumlah gambut yang ia tambang. Tiap satu perahu gambut, dia memperoleh gaji Rp 55.000.

Wahono merupakan satu di antara 40 penambang gambut di Dusun Sumurup yang saat ini masih tersisa. Di dekade 1990-an, hampir seluruh  pria Dusun Sumurup mencari nafkah sebagai penambang gambut. Saat itu, jumlah penambang bisa mencapai 100 orang.

Jumlah pengusaha gambut pada saat itu mencapai sekitar 50 orang. Saat itu, permintaan gambut dalam jumlah besar datang dari PT Dieng Djaya, perusahaan produsen jamur yang berlokasi di Wonosobo. Saban bulan, permintaan jamur dari perusahaan tersebut bisa mencapai 5.000 m3.

Jumini, pengusaha gambut yang sudah melakoni bisnis gambut sejak 30 tahun lalu, menuturkan, permintaan gambut dari PT Dieng Djaya bermula pada tahun 1985. Memasuki tahun 1990-an, permintaan makin meningkat. Pada era booming tersebut, Jumini memiliki 25 tenaga kerja. Artinya, sebanyak itu pula perahu yang ia miliki.

Sayang, era booming gambut tak bertahan lama lantaran pabrik jamur bangkrut. Permintaan pun menyusut. Sebagian pengusaha maupun penambang gambut mulai beralih mata pencaharian. Saat ini, pengusaha gambut di Sumurup tinggal tujuh orang.

Jumini merupakan salah satu pengusaha yang masih bertahan. Jumlah pekerjanya tinggal 12 orang. Begitu pula perahunya tinggal 12 unit. Toh, ibu dari tiga anak dan nenek dari empat orang cucu ini masih bisa mendapatkan permintaan gambut.

Menurut Jumini, permintaan gambut paling besar saat ini berasal dari pabrik jamur di Malang, Jawa Timur. Saban bulan, pengusaha gambut di Sumurup bisa menjual gambut ke pabrik jamur tersebut sebanyak 1.500 m3. Untuk setiap meter kubik gambut yang belum diolah sama sekali alias mentah,  pabrik jamur tersebut membayar Rp 75.000. Ini di luar ongkos transportasi yang ditanggung perusahaan jamur.

Selain menjual ke pabrik jamur di Malang, Jumini juga menjual gambut ke pelanggan lain meski dalam jumlah kecil. Umumnya, mereka memanfaatkan gambut sebagai media pembibitan ataupun pupuk kompos. Karena itu, volume permintaannya kecil. Jika ditotal, Jumini bisa menjual gambut sebanyak 1.000 m3 tiap bulan.

Pengusaha gambut lainnya, Triwanto Setyono, memiliki tiga pekerja. Saban bulan, ia bisa menjual gambut sebanyak 400 m3 ke pabrik jamur di Malang. Selain itu, ia juga menjual gambut dalam skala kecil ke pengusaha tanaman hias di beberapa kota seperti Muntilan dan Purwodaddi. “Penjualan gambut ke Muntilan seminggu 10 m3,” ujar Triwanto.

Sementara Widodo bersama kedua saudaranya bisa menambang gambut rata-rata sehari sebanyak 10 m3. Dalam sebulan, ia bisa menjual gambut sebanyak 200 m3. Lima kali dalam sepekan, Widodo mengirim gambut ke Dieng sebanyak 10 m3. Per kubik gambut, ia memperoleh uang Rp 55.000.  

(bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×