kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengenal perbedaan arsitektur tropis dan subtropis


Selasa, 31 Mei 2016 / 16:05 WIB
Mengenal perbedaan arsitektur tropis dan subtropis


Reporter: rumahku.com | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Banyak orang Indonesia yang mengidolakan arsitektur bangunan negara – negara luar seperti Eropa atau Amerika Serikat, hingga kemudian mengadopsinya di hunian mereka. Padahal, bentuk arsitektur harus disesuaikan dengan iklimnya.

Amerika Serikat, negara–negara di Eropa, kawasan Asia Timur, serta Australia, umumnya memiliki empat musim dalam kurun setahun, atau biasa disebut dengan negara beriklim subtropis. Sementara negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia hanya memiliki dua musim karena memiliki iklim tropis.

Perbedaan musim yang mendasar ini kemudian turut memengaruhi arsitektur bangunan di negara tersebut. Tujuannya untuk menyesuaikan kondisi yang bakal terjadi, sehingga bangunan lebih tahan lama serta minim maintenance. 

Lantas bagaimana jika negara di iklim tropis mengadopsi ‘mentah – mentah’ gaya arsitektur subtropis, atau sebaliknya?

Bisa saja, tapi harus ada konsekuensi yang harus dibayarkan terkait maintenance, construction cost, penggunaan energi, serta yang paling penting adalah sisi kenyamanan di dalam rumah.

1. Arsitektur Tropis

Jika ingin mengadopsi bangunan berkonsep green, mereka yang tinggal di negara tropis lebih bisa mengaplikasikannya dengan mudah.

Ya, konstruksi serta material negara–negara yang terbentang di iklim tropis lebih sederhana dan tidak rewel, sehingga lebih fleksibel. Penggunaan bahan – bahan alami pun banyak diadopsi oleh mereka yang berada di kawasan tersebut.

Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah keberadaan bukaan/ventilasi dan overstek/teritisan. Suhu tropis membuat kelembaban udara di negara tropis sangat tinggi, sehingga bukaan sangat dibutuhkan untuk menguranginya. 

Sementara overstek/teritisan, sangat berguna untuk menghalau sinar matahari yang memang terik kala musim kemarau, serta mencegah air hujan atau cipratannya masuk ke dalam rumah saat musim penghujan.

Jika gaya ini diadopsi oleh negara beriklim subtropis, bangunan akan mudah roboh karena konstruksinya yang terbilang sederhana, jadi harus diperkokoh lagi. Keberadaan bukaan dan overstek juga malah menjadi masalah, mengingat suhu ekstrim yang bakal muncul, seperti musim panas dan musim dingin.

2. Arsitektur Subtropis

Karena memiliki 4 musim, konstruksi serta material yang digunakan sudah tentu lebih kompleks dan harus lebih kokoh. Jika ingin menghadirkan nuansa alam di dalam rumah, akan lebih baik jika unsur–unsur tersebut disematkan di bagian dalam rumah, bukan bagian luar.

Hal yang paling penting adalah, arsitektur subropis umumnya menggunakan dinding yang tebal dan masif, atap kokoh dengan sudut kemiringan yang tinggi, tidak memiliki banyak bukaan atau lubang ventilasi, serta tidak menggunakan ovestek. 

Hal ini terkait dengan suhu ekstrim saat musim dingin. Karena jika atap tidak kokoh, salju yang menumpuk di atap akan mampu merobohkan rumah.

Dinding yang tebal dengan tanpa bukaan juga mampu menghambat suhu dingin masuk ke dalam rumah. Sementara overstek, malah akan rusah oleh tekanan salju yang menggumpal berat.

Tak masalah jika gaya arsitektur seperti ini diterapkan di negara tropis. Hanya saja, ongkos konstruksi dan energi listrik yang dibutuhkan pun akan jauh lebih besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×