Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung memastikan penerapan mandatori biodiesel 50% (B50) tetap akan dimulai pada awal tahun 2026.
"Untuk B50, kita evaluasi untuk implementasi B40 tahun ini dan juga kita harapkan untuk implementasi tahun depan B50 segera bisa diakses. (awal tahun) Ya, seperti ini, perintah per awal tahun," kata Yuliot di Kementerian ESDM, Jumat (8/8).
Mandatori B50 adalah kebijakan pencampuran 50% bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan 50% bahan bakar nabati (BBN) berbasis minyak sawit. Sebelumnya, rencana ini sempat diperkirakan berpotensi mundur dari target awal 2026.
Baca Juga: Harga Biodiesel Naik Jadi Rp13.527 per Liter pada Agustus 2025
Tantangan Harga: CPO dan BBM Memengaruhi Pasar
Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menilai salah satu kendala penyerapan B40 hingga ke B50 adalah disparitas harga antara Crude Palm Oil (CPO) dan BBM.
"Selama ini selisih antara harga biodiesel domestik atau HIP biodiesel dengan harga solar impor, dibayar dari dana sawit yang berasal dari dana BPDPKS yang sekarang namanya Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP)," ungkap Direktur PASPI, Tungkot Sipayung, kepada Kontan, Senin (21/7).
Tungkot memaparkan, hampir 90% dana sawit BPDP terserap untuk insentif biodiesel. Jika B50 diterapkan, volume ekspor sawit akan turun, yang otomatis mengurangi pungutan ekspor (levy).
"Sementara kalau B50 otomatis kebutuhan insentif biodiesel akan makin meningkat," ujarnya.
Usulan Perubahan Sistem Pembiayaan
Tungkot menekankan perlunya reformasi sistem pembiayaan insentif biodiesel agar tidak sepenuhnya membebani industri sawit.
Baca Juga: 4 Bulan Berjalan, Penyaluran B40 Tembus 4,3 Juta Kiloliter
"Agar B50 jalan, pembiayaan insentif harus diubah dan jangan lagi menjadi beban industri sawit. Benefit green biofuel dan energy security yang dinikmati bersama, harus ikut menanggung beban insentif subsidi," jelasnya.
ESDM: Target B50 Masih Perlu Kajian Lanjutan
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan bahwa target penerapan B50 pada 2026 belum sepenuhnya pasti.
"Apakah 2026 kita mulai dengan B50? Itu belum kita tentukan, jadi harus kita lihat lagi, B50 butuhnya berapa (biodiesel)," ujar Eniya di Jakarta, Kamis (17/7).
Menurut Eniya, kenaikan harga CPO global yang diiringi penurunan harga BBM membuat selisih harga (disparitas) semakin besar.
"Kita sudah mulai berpikir menuju B50, walaupun disini masih banyak kajian yang diperlukan. Karena harga CPO naik, tapi BBM-nya turun, sehingga disparitas harganya naik," jelasnya.
Baca Juga: Aprobi Minta Perlindungan Industri Domestik Imbas Kebijakan Tarif Trump
Uji Coba dan Tantangan Distribusi di Indonesia Timur
Sebagai langkah awal, Kementerian ESDM akan melakukan uji coba B50 dengan pendanaan dari BPDP.
"Memang kalau mandatori, kita harus berhitung dengan benar, faktor pendanaan sampai insentif," kata Eniya.
Ia menambahkan, serapan nasional untuk B40 saat ini sudah mencapai 50% dari total volume biodiesel. Namun, harga biodiesel di wilayah timur Indonesia lebih tinggi karena biaya logistik yang besar.
"Serapannya bagus, tapi harga di ujung agak uncontrol, sekarang sedang ditelaah, kenapa kok bisa Rp 25 ribu (biodiesel)? Tapi karena penggunanya di Indonesia Timur, jadi memang logistiknya lebih besar," ungkapnya.
Selanjutnya: Bank Pelat Merah Berlomba-lomba Bidik Nasabah Korporasi Lewat Aplikasi Digital
Menarik Dibaca: Promo Burger King Nongkrong Seru Agustus 2025, 4 Paket Menu Favorit Harga Spesial
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News