kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.692.000   25.000   1,50%
  • USD/IDR 16.404   -24,00   -0,15%
  • IDX 6.532   -116,15   -1,75%
  • KOMPAS100 968   -17,27   -1,75%
  • LQ45 762   -11,18   -1,45%
  • ISSI 199   -3,66   -1,81%
  • IDX30 395   -4,89   -1,23%
  • IDXHIDIV20 474   -4,27   -0,89%
  • IDX80 110   -1,83   -1,63%
  • IDXV30 116   -0,89   -0,76%
  • IDXQ30 131   -1,54   -1,17%

Menilik Dampak Pelarangan Ekspor Nikel Filipina bagi Indonesia


Selasa, 11 Februari 2025 / 18:49 WIB
Menilik Dampak Pelarangan Ekspor Nikel Filipina bagi Indonesia
ILUSTRASI. Industri nikel dalam negeri tengah bersiap menghadapi efek samping dari larangan ekspor bijih nikel atau nikel ore dari Filipina.. ANTARA FOTO/Andri Saputra/YU


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri nikel dalam negeri tengah bersiap menghadapi efek samping dari larangan ekspor bijih nikel atau nikel ore dari Filipina.

Berdasarkan laporan Bloomberg, Jumat (7/2), Pemerintah Filipina tengah menggodok Rancangan Undang-undang (RUU) yang melarang ekspor mineral mentah, termasuk nikel yang ditargetkan dapat berlaku mulai Juni 2025.

Langkah ini diambil pemerintah Filipina sebagai upaya untuk meningkatkan industri pertambangan hilir, termasuk mendorong penambang untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.

Keputusan ini, dianggap akan berdampak pula pada Indonesia. Meski menjadi produsen bijih nikel pertama di dunia. Indonesia masih bergantung pada produksi nikel Filipina untuk 'memberi makan' smelter-smelter di tanah air.

Baca Juga: Indonesia Bersiap Hadapi Efek Samping Larangan Ekspor Nikel Filipina

Melansir data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam periode waktu sebelas bulan tahun 2024 atau Januari-November 2024, Indonesia telah mengimpor 10,29 miliar kg  atau setara dengan 10,26 juta ton nikel ore dan konsentrat. Dengan nilai Cost, Insurance, and Freight (CIF) atau biaya tanggung jawab pengiriman barangnya mencapai US$ 451,9 juta.

Volume terbanyak impor berasal dari Filipina, yaitu sebesar 10 miliar kg atau setara dengan 10 juta ton nikel ore dan konsentrat dengan CIF senilai US$ 436,85 juta. Angka ketergantungan impor ini cukup fantastis jika dibandingkan impor nikel Indonesia sepanjang tahun 2023 yang hanya berada di angka 1,26 juta ton.

Terkait antisipasi dari efek larangan ekspor Filipina, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan masih akan melakukan kajian terhadap dampaknya pada industri nikel dalam negeri.

"Kalau dampak, kita memang ada impor untuk yang nikel dari Filipina. Tapi kalau misalnya nanti Filipina melarang ekspornya betul, ya kita exercise lah seperti apa pas-nya," ungkap Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) ESDM Tri Winarno di Kantornya, Jumat (09/02). 

Menanggapi rencana ini, Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno mengungkapkan, jika Filipina juga menerapkan larangan ekspor, hal ini berpotensi mempengaruhi bisnis smelter di Indonesia.

"Terutama karena Filipina adalah salah satu negara penghasil mineral utama, seperti nikel, yang banyak digunakan dalam industri smelter," kata Djoko kepada Kontan, Selasa (11/2).

Baca Juga: Konsumsi Nikel pada 2025 Diproyeksi Meningkat di Tengah Potensi Pemangkasan Produksi

Menurut Djoko, ada beberapa pengaruh larangan ekspor Filipina ke Indonesia, pertama, pengaruh terhadap pasokan bahan baku. Filipina adalah salah satu pemasok utama bijih nikel dunia. Jika mereka melarang ekspor nikel atau bahan tambang lainnya, hal ini bisa menyebabkan ketegangan di pasar global bahan baku mineral. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar kedua di dunia, bisa menghadapi lonjakan permintaan dari pasar internasional, terutama jika pasokan dari Filipina terganggu.

"Ini akan menguntungkan smelter di Indonesia, yang akan mendapatkan lebih banyak pasokan dari  negara penghasil Nikel dan meningkatkan kapasitas produksi," ungkapnya.

Kedua, peningkatan persaingan harga bahan baku. Sebab, dengan terbatasnya pasokan dari Filipina, harga nikel dan bahan baku mineral lainnya bisa meningkat. Smelter Indonesia yang mengandalkan nikel sebagai bahan baku mungkin akan mengalami peningkatan biaya.

Namun, bagi Indonesia yang memiliki sumber daya nikel yang melimpah, ini bisa membuka peluang untuk memaksimalkan produksi dalam negeri.Industry.

"Smelter akan berusaha mencari sumber bahan baku  baru  untuk memenuhi kebutuhan Umpan (Feed) smelter," tutur Djoko.

Ketiga, peluang untuk ekspansi bisnis smelter. Djoko bilang, larangan ekspor dari Filipina bisa membuka peluang bagi smelter Indonesia untuk memperluas kapasitas pengolahan mereka.

"Karena kekurangan pasokan dari Filipina, permintaan global terhadap produk olahan nikel (seperti ferronickel dan stainless steel) akan meningkat," jelas Djoko.

Baca Juga: APNI: Pemangkasan Produksi Bukan Penentu Utama Harga Bijih Nikel Global

Menurut Djoko, smelter Indonesia yang mampu meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan internasional bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar, baik dari segi ekspor maupun dari peningkatan nilai tambah produk.

Keempat, kata Djoko, jika Filipina melarang ekspor, Indonesia mungkin akan mendapatkan lebih banyak perhatian sebagai pemasok bahan baku mineral.

Oleh sebab itu, pemerintah dan perusahaan smelter di Indonesia mungkin akan berupaya untuk menggali sumber daya mineral lain, untuk memastikan ketersediaan bahan baku yang cukup untuk smelter domestik dan industri hilir. Ini bisa mempercepat pencarian sumber daya baru(eksplorasi) dan pengembangan teknologi pengolahan.

Kelima, jika Indonesia harus bersaing ketat untuk bahan baku nikel di pasar domestik atau global, beberapa smelter mungkin kesulitan mendapatkan pasokan yang cukup atau menghadapi biaya bahan baku yang lebih tinggi.

"Hal ini dapat mempengaruhi profitabilitas dan keberlanjutan operasi mereka, terutama bagi smelter yang memiliki keterbatasan dalam kapasitas pengolahan," ungkap Djoko.

Terakhir, jika Filipina melakukan larangan ekspor, Indonesia dapat memperkuat kebijakan dalam negeri untuk memastikan pasokan bahan baku yang cukup untuk smelter domestik.

Namun, kebijakan ini bisa menyebabkan ketegangan dalam hubungan dagang dan mempengaruhi perdagangan global mineral, terutama jika ada negara lain yang juga terkena dampak. Kebijakan Industri Ekstraksi harus memberikan konsistensi Hukum dan jaminan berusaha.

Baca Juga: Potensi Pemangkasan Produksi Bijih Nikel: Antara Keseimbangan Harga dan Kebutuhan

Secara keseluruhan, Djoko bilang larangan ekspor yang diterapkan oleh Filipina berpotensi memberikan peluang bagi industri smelter Indonesia, jika seluruh pemangku kepentingan di Indonesia melihat peluang  terutama dalam hal meningkatkan kapasitas dan volume pengolahan lewat peningkatan kemampuan pengembangan Teknologi yang diperoleh dari kerja sama Industry dan lembaga penelitian, Universitas.

"Namun, ini juga dapat menambah tantangan dalam hal harga bahan baku dan ketegangan pasar yang mungkin harus dihadapi oleh smelter Indonesia," pungkas Djoko.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai, tidak akan berpengaruh besar bagi Indonesia, karena prinsipnya produksi nikel Indonesia sangat besar, hanya karena beberapa masalah hambatan produksi maka smelter Indonesia perlu impor salah satunya dari Filipina.

"Jika kondisi normal sebenarnya tidak perlu impor, produksi nikel dalam negeri cukup. Jika Indonesia tetap perlu impor dan Filipina stop masih ada alternatif impor dari negara lain seperti Rusia,  Australia dan lainnya, pengaruh hanya soal jarak Filipina paling dekat," ujar Bisman kepada Kontan, Selasa (11/2).

Selanjutnya: Dasco Pastikan Gaji ke-13 Tidak Terdampak Efisiensi Anggaran

Menarik Dibaca: Tak Diguyur Hujan, Ini Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (12/2)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Finance for Non Finance Entering the Realm of Private Equity

[X]
×