kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.524.000   9.000   0,59%
  • USD/IDR 16.200   -100,00   -0,62%
  • IDX 7.163   83,30   1,18%
  • KOMPAS100 1.069   11,81   1,12%
  • LQ45 837   10,56   1,28%
  • ISSI 216   0,73   0,34%
  • IDX30 429   5,85   1,38%
  • IDXHIDIV20 517   5,46   1,07%
  • IDX80 122   1,47   1,22%
  • IDXV30 126   0,22   0,17%
  • IDXQ30 143   1,38   0,97%

Konsumsi Nikel pada 2025 Diproyeksi Meningkat di Tengah Potensi Pemangkasan Produksi


Senin, 30 Desember 2024 / 21:31 WIB
Konsumsi Nikel pada 2025 Diproyeksi Meningkat di Tengah Potensi Pemangkasan Produksi
ILUSTRASI. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memprediksi konsumsi bijih nikel domestik akan mencapai angka 400-450 juta ton pada 2025.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memprediksi konsumsi bijih nikel domestik akan mencapai angka 400-450 juta ton pada 2025.

Menurut Dewan Penasihat APNI, Djoko Widajatno kenaikan konsumsi bijih ini salah satunya didorong dari masifnya perkembangan industri hilir nikel di Indonesia.

"(Peningkatan) ini terutama didorong oleh pengembangan industri hilir seperti produksi ferronikel, nikel matte, dan bahan baku baterai EV," ungkap Djoko saat dihubungi Kontan, Senin (30/12). 

Baca Juga: Potensi Pemangkasan Produksi Bijih Nikel: Antara Keseimbangan Harga dan Kebutuhan

Asal tahu saja, angka konsumsi tahun 2025 ini lebih tinggi 60% daripada konsumsi bijih nikel sepanjang tahun 2024, yang diprediksi APNI sebesar 250 juta ton. 

"Dengan target peningkatan kapasitas pengolahan domestik, jumlah ini bisa bertambah jika ada proyek smelter baru yang selesai lebih cepat," tambahnya.

Tidak hanya konsumsi bijih nikel, APNI ungkap Djoko juga memprediksi adanya penambahan signifikan dari jumlah smelter nikel di Indonesia.

Berdasarkan catatan asosiasi, hingga kini terdapat 49 smelter nikel teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan 6 smelter nikel High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang sudah beroperasi di seluruh Indonesia. 

"Selain itu, terdapat 36 proyek smelter RKEF dan 6 smelter HPAL yang sedang dalam tahap konstruksi," tambahnya. 

Baca Juga: Potensi Pemangkasan Produksi Bijih Nikel: Antara Keseimbangan Harga dan Kebutuhan

Smelter-smelter yang masih dalam tahap konstruksi tahun ini akan siap beroperasi pada tahun depan sehingga total smelter nikel di Indonesia mencapai 95 unit, yang terdiri dari 85 smelter RKEF dan 12 smelter HPAL.

"Penambahan smelter ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pengolahan bijih nikel dalam negeri, sejalan dengan proyeksi APNI bahwa produksi nikel Indonesia akan mencapai 3,74 juta ton pada tahun 2030," jelasnya.

Pemangkasan Produksi Bijih Nikel

Proyeksi terhadap peningkatan konsumsi hingga dampaknya pada peningkatan kinerja smelter nikel tahun depan dinilai harus selaras dengan peningkatan produksi bijih nikel tahun depan.

Sebelumnya, dalam laporan Bloomberg, Kamis (19/12) berhembus kabar bahwa pemerintah Indonesia berencana menekan jumlah bijih nikel yang ditambang sebanyak 150 juta ton saja untuk tahun depan, atau turun sebesar 44,85% dibandingkan produksi tahun ini yang sebesar 272 juta ton.

Pemangkasan ini salah satunya dilakukan untuk mengontrol harga nikel di pasar global. Dimana, saat ini berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KemenESDM) Indonesia telah menguasai 45% cadangan nikel dunia.

Baca Juga: Soal Potensi Pemangkasan Produksi Bijih Nikel, AP3I Minta Waktu Transisi

Menurut Djoko, pemangkasan produksi tidak menjadi satu-satunya jawaban untuk mengendalikan harga nikel. Pemerintah ungkapnya juga harus bisa menyelaraskan antara permintaan domestik dengan ekspor.

"Jika produksi bijih nikel terlalu tinggi tanpa penyerap yang memadai, harga di pasar global bisa jatuh. Oleh karena itu, produksi harus diselaraskan dengan permintaan domestik dan ekspor," ungkapnya.

Ia juga menyebut, beberapa negara produsen nikel lain di dunia seperti Filipina, juga menjadi pesaing sekaligus penentu harga di pasar global. "Dengan pengendalian produksi yang tepat, Indonesia bisa menjaga harga komoditas ini tetap kompetitif," katanya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengusulkan pembatasan pada smelter nikel kelas II atau smelter dengan teknologi RKEF yang memproduksi Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferronickel (FeNi) untuk bahan baku stainless steel. 

Menurutnya, smelter dengan teknologi HPAL atau smelter nikel kelas I yang memiliki produk akhir nikel sulfat (NiSO4) dan kobalt sulfat (CoSO4) yang merupakan bahan baku baterai kendaraan listrik mesti lebih diperbanyak mengingat target Indonesia sebagai raja baterai EV. 

Baca Juga: Asosiasi Nikel Berharap Simbara Mampu Mencegah Oversupply Produksi Nikel

"Untuk produk nikel kelas-I mungkin ini perlu di jaga keberlangsungannya karena pasar atau permintaan terhadap nikel kelas-I masih menjanjikan," ungkap Hendra, Jumat (27/12). 

Asal tahu saja, selain nikel sulfat dan kobalt sulfat, smelter HPAL memiliki produk antara dalam bentuk Presipitasi Hidroksida Campuran (MHP) yang merupakan bahan baku untuk membuat baterai lithium-ion.

"Jadi untuk produk MHP kita jangan sampai kehilangan momentum untuk menjadi pemasok dan pemain utama MHP. Akan tetapi regulator perlu lebih cermat dalam mengatur agar jangan sampai terjadi kondisi oversupply untuk produk MHP dalam 2 tahun ke depan," tutup Hendra. 

Selanjutnya: Harga Tembaga London Turun Senin (30/12), di Tengah Penantian Data Ekonomi China

Menarik Dibaca: Katalog Promo Alfamidi Hemat Satu Pekan Periode 30 Desember 2024-5 Januari 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×