kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45928,35   -6,99   -0.75%
  • EMAS1.321.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik deretan mantan pejabat publik yang kini menjadi petinggi perusahaan digital


Minggu, 09 Mei 2021 / 17:26 WIB
Menilik deretan mantan pejabat publik yang kini menjadi petinggi perusahaan digital
ILUSTRASI. Bukalapak menunjuk Bambang Brodjonegoro dan Yenny Wahid masuk jajaran Komisaris


Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira berpendapat, relasi atau jaringan menjadi faktor utama di balik maraknya eks pejabat publik maupun komisaris aktif BUMN yang turut menempati jabatan penting di beberapa perusahaan rintisan (startup) digital.

Menurutnya, perusahaan startup di negara-negara berkembang cenderung berupaya mencari perlindungan regulasi untuk bisa memenangkan kompetisi di pasarnya masing-masing.

Dari situ, pemilik startup sadar bahwa bisnis yang mereka jalani bukan bicara soal teknologi atau inovasi semata. Mereka juga perlu belajar dari konglomerat lama maupun pejabat publik bahwa perlindungan regulasi kelak mampu memberi kepastian pertumbuhan jangka panjang bagi tiap startup.

“Relasi dari para pejabat atau komisaris BUMN dianggap memiliki kekuatan untuk mengamankan bisnis startup, apalagi yang statusnya unicorn,” ujar dia, Minggu (9/5).

Di samping itu, para pelaku usaha startup juga memanfaatkan imej pejabat-pejabat publik atau level regulator untuk meningkatkan posisi tawarnya (bargaining power). Tidak sedikit pula startup yang membutuhkan sosok eks pejabat publik atau komisaris BUMN untuk memberikan petunjuk dan saran (advice) secara berkala.

“Ada banyak pengalaman dan pengetahuan yang bisa diberikan kepada manajemen startup. Berhubung banyak dari manajemen tersebut yang usianya masih muda atau baru berpengalaman di bidang bisnis tertentu,” ungkap Bhima.

Dia melanjutkan, fenomena seperti ini sebenarnya merupakan cerminan dari hasil Indeks Kapitalisme Kroni di Indonesia yang cukup tinggi. Berdasarkan data Indeks Kapitalisme Kroni yang dirilis The Economist pada 2016, Indonesia berada di urutan ke-7 dunia atau lebih tinggi dari China, Brazil, dan Turki.

Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan pengusaha-pengusaha Indonesia mengamankan bisnis dengan melakukan praktik kroni alias dekat dengan orang dalam. “Fenomena ini kemudian jadi berlangsung terus-menerus, meski model bisnisnya berubah dari sektor ekstraktif menjadi industri digital,” tuturnya.




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×