kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik deretan mantan pejabat publik yang kini menjadi petinggi perusahaan digital


Minggu, 09 Mei 2021 / 17:26 WIB
Menilik deretan mantan pejabat publik yang kini menjadi petinggi perusahaan digital
ILUSTRASI. Bukalapak menunjuk Bambang Brodjonegoro dan Yenny Wahid masuk jajaran Komisaris


Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam beberapa waktu terakhir, muncul fenomena berupa praktik sejumlah pejabat publik aktif dan non aktif maupun komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang turut menduduki kursi manajerial perusahaan-perusahaan digital di Indonesia.

Awal Mei 2021 misalnya, Bambang Brodjonegoro yang merupakan mantan Menteri Riset dan Teknologi dipilih menjadi Komisaris Utama Bukalapak lewat RUPS yang diadakan oleh perusahaan tersebut.

RUPS Bukalapak juga mengangkat Yenni Wahid sebagai Komisaris ketika di saat yang sama ia juga menjabat sebagai Komisaris Independen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA).

Ada pula mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio yang kini menjadi Komisaris Tokopedia dan Komisaris Utama Telkomsel, anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM).

Lanjut, ada eks Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara yang menjadi Presiden Komisaris OVO. Ex Deputi Gubernur BI lainnya, Ronald Waas, kini menjadi anggota Dewan Komisaris Gojek.

Mantan Gubernur BI Agus Martowardojo juga punya jabatan di perusahaan digital, yakni Komisaris Utama Tokopedia. Di saat yang sama, ia juga menjadi Komisaris Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI).

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri saat ini menempati posisi Komisaris Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI). Ia juga rangkap posisi sebagai Penasehat perusahaan fintech, Modalku.

Adapun eks Kapolri Badrodin Haiti kini menjadi Komisaris Utama PT Waskita Karya Tbk (WSKT) sekaligus menjadi Penasehat Senior Grab Indonesia.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira berpendapat, relasi atau jaringan menjadi faktor utama di balik maraknya eks pejabat publik maupun komisaris aktif BUMN yang turut menempati jabatan penting di beberapa perusahaan rintisan (startup) digital.

Menurutnya, perusahaan startup di negara-negara berkembang cenderung berupaya mencari perlindungan regulasi untuk bisa memenangkan kompetisi di pasarnya masing-masing.

Dari situ, pemilik startup sadar bahwa bisnis yang mereka jalani bukan bicara soal teknologi atau inovasi semata. Mereka juga perlu belajar dari konglomerat lama maupun pejabat publik bahwa perlindungan regulasi kelak mampu memberi kepastian pertumbuhan jangka panjang bagi tiap startup.

“Relasi dari para pejabat atau komisaris BUMN dianggap memiliki kekuatan untuk mengamankan bisnis startup, apalagi yang statusnya unicorn,” ujar dia, Minggu (9/5).

Di samping itu, para pelaku usaha startup juga memanfaatkan imej pejabat-pejabat publik atau level regulator untuk meningkatkan posisi tawarnya (bargaining power). Tidak sedikit pula startup yang membutuhkan sosok eks pejabat publik atau komisaris BUMN untuk memberikan petunjuk dan saran (advice) secara berkala.

“Ada banyak pengalaman dan pengetahuan yang bisa diberikan kepada manajemen startup. Berhubung banyak dari manajemen tersebut yang usianya masih muda atau baru berpengalaman di bidang bisnis tertentu,” ungkap Bhima.

Dia melanjutkan, fenomena seperti ini sebenarnya merupakan cerminan dari hasil Indeks Kapitalisme Kroni di Indonesia yang cukup tinggi. Berdasarkan data Indeks Kapitalisme Kroni yang dirilis The Economist pada 2016, Indonesia berada di urutan ke-7 dunia atau lebih tinggi dari China, Brazil, dan Turki.

Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan pengusaha-pengusaha Indonesia mengamankan bisnis dengan melakukan praktik kroni alias dekat dengan orang dalam. “Fenomena ini kemudian jadi berlangsung terus-menerus, meski model bisnisnya berubah dari sektor ekstraktif menjadi industri digital,” tuturnya.

Risikonya, kebijakan untuk mengawasi praktik-praktik yang merugikan konsumen dan pekerja menjadi lemah. Misalnya, terkait indikasi predatory pricing dan dominasi barang impor di platform e-commerce yang belum ada tindak lanjut konkret. Ada pula masalah ketenagakerjaan para pengemudi ojek daring yang acap kali menggantung.

Bhima menilai, praktik eks pejabat publik ataupun pejabat publik aktif yang rangkap jabatan di perusahaan digital masih berpotensi berlanjut. Selain penegakan hukum yang lemah, sikap dari pemerintah juga terkesan permisif terkait hal tersebut.

Sementara itu, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur S. Saragih menyebut bahwa UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebenarnya sudah mengatur soal praktik rangkap jabatan yang melibatkan para pejabat publik aktif dan nonaktif hingga komisaris BUMN di Indonesia.

Dalam pasal 26, seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan lain.

Kategori perusahaan yang dimaksud adalah berada dalam pasar bersangkutan yang sama, memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha, serta secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu sehingga timbul praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.

Aturan tersebut menurut Guntur harus ditegakkan dengan tegas. Apalagi, komisaris merupakan posisi strategis dalam hal kebijakan perusahaan. “Potensi pelanggaran persaingan usaha antar pelaku usaha yang dirangkap menjadi terbuka,” tandas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×