kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45891,58   -16,96   -1.87%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menilik Kinerja Emiten E-Commerce


Kamis, 02 November 2023 / 07:00 WIB
Menilik Kinerja Emiten E-Commerce
ILUSTRASI. Ekonomi digital Indonesia menyimpan potensi besar pada masa mendatang yang ditopang oleh sektor e-commerce.. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/rwa.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi digital Indonesia menyimpan potensi besar pada masa mendatang yang ditopang oleh sektor e-commerce. Namun, hingga kini, kinerja para pelaku e-commerce Tanah Air masih melemah, terutama dari sisi bottom line.

Berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain & Company yang diterima Kontan, Rabu (1/11), nilai Gross Merchandise Value (GMV) ekonomi digital Indonesia tercatat sebesar US$ 76 miliar pada 2022 atau naik 20% dibandingkan tahun 2021 yakni US$ 63 miliar. Untuk 2023, Google, Temasek, dan Bain & Company memproyeksikan GMV ekonomi digital Indonesia naik 8% menjadi US$ 82 miliar.

Setelah 2023, GMV ekonomi digital Indonesia diprediksi kembali tumbuh 15% menjadi US$ 109 miliar pada 2025. Adapun pada 2030 nanti, GMV ekonomi digital nasional diperkirakan melesat di kisaran US$ 210 miliar—US$ 360 miliar.

Kontributor utama pendorong ekonomi digital datang dari sektor e-commerce. Lihat saja, pada 2021 lalu sektor e-commerce menyumbang GMV senilai US$ 48 miliar, kemudian naik 20% pada 2022 menjadi US$ 58 miliar, dan diperkirakan kembali tumbuh 7% menjadi US$ 62 miliar pada 2023.

Baca Juga: Potensi Ekonomi Digital Indonesia Dapat Memicu Hadirnya Pemain E-Commerce Baru

Sedangkan pada 2025, GMV sektor e-commerce diprediksi mencapai US$ 82 miliar atau naik 15% dari proyeksi 2023. Tahun 2030 nanti, sektor e-commerce diperkirakan memiliki GMV sekitar US$ 160 miliar.

Prospek positif ekonomi digital Indonesia belum bisa diimbangi oleh tren kinerja emiten-emiten e-commerce di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ambil contoh PT Goto Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) yang masih menderita rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 9,55 triliun per kuartal III-2023. Memang, angka ini telah berkurang 53% year on year (YoY) dibandingkan rugi bersih GOTO per kuartal III-2022 senilai Rp 20,32 triliun.

PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) juga menderita rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebanyak Rp 776,22 miliar per kuartal III-2023. Padahal, per kuartal III-2022 BUKA masih bisa meraih laba bersih Rp 3,56 triliun.

PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) atau Blibli.com belum merilis laporan keuangan per kuartal III-2023. Hingga semester I-2023, rugi bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk BELI tercatat sebesar Rp 1,75 triliun atau berkurang 29,72% YoY dibandingkan realisasi rugi bersih semester I-2022 senilai Rp 2,49 triliun.

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta menilai, rugi bersih yang diderita emiten e-commerce tak lepas dari kebijakan mereka dalam bakar-bakar duit demi menghadirkan beragam promosi layanan pada platformnya. Harapannya pihak e-commerce bisa meningkatkan pangsa pasar seiring banyaknya transaksi yang dilakukan oleh para konsumen.

Namun, Nafan yakin seiring berjalannya waktu, para pelaku e-commerce akan menuju ke titik profit. Ini dengan catatan mereka terus melakukan efisiensi bisnis sembari tetap gencar melakukan ekspansi pasar guna menopang pertumbuhan pendapatan.

Baca Juga: Tak Setor Data ke BPS, E-commerce Akan Kena Sanksi Sampai Pemblokiran

Dari sisi saham, selama kinerja bottom line emiten-emiten e-commerce memerah, tampaknya banyak investor yang masih wait and see untuk masuk ke sektor tersebut.

“Emiten e-commerce mesti memanfaatkan stabilitas ekonomi nasional yang didorong oleh konsumsi domestik yang kuat,” kata dia, Rabu (1/11).

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, masalah yang dialami oleh pebisnis e-commerce disebabkan sejak awal mereka sudah menderita persaingan usaha yang kurang sehat. Ini terlihat dari model bisnis e-commerce yang masih cenderung menampilkan kontestasi harga.

Dalam hal ini, jika pihak e-commerce pelit dalam membagikan diskon produk atau ongkos kirim, para konsumen dengan mudahnya beralih ke platform e-commerce lain. Padahal, sebenarnya produk-produk yang dijual pada masing-masing e-commerce relatif sama. Banyak juga pedagang online yang memiliki lapak di berbagai platform e-commerce. Perbedaan hanya tampak pada besaran diskon atau jenis promosi yang diberikan oleh pengelola e-commerce.

“Jadi, kue bisnis e-commerce sebenarnya besar, tapi bisnisnya kurang sustainable,” tukas Bhima, Rabu (1/11).

Maka dari itu, para pelaku e-commerce diharuskan terus berinovasi mencari peluang bisnis baru yang dapat menutupi bisnis utama yang tampak berdarah-darah. Tetapi, langkah inovasi ini tetap harus dilakukan secara hati-hati.

“Sebenarnya e-commerce yang untung adalah mereka yang punya segmen bisnis pinjaman online atau paylatter. Tapi belakangan bisnis ini timbul kontroversi seiring banyaknya kasus gagal bayar,” ungkap dia.

Di sisi lain, para pelaku e-commerce tidak bisa berleha-leha di tengah prospek positif ekonomi digital Indonesia. Peneliti Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, pertumbuhan GMV sektor e-commerce sebenarnya melambat.

Terbukti riset Google, Temasek, Bain memproyeksikan GMV sektor e-commerce pada 2023 hanya tumbuh 7%, padahal tahun lalu tumbuh 20%. Kondisi ini berbeda dengan proyeksi pertumbuhan GMV perjalanan online yang mencapai 68% pada 2023.

Baca Juga: Mulai Tahun Depan, E-Commerce Wajib Setor Data-Data Ini kepada BPS

“E-commerce ternyata sudah memasuki masa normal karena tidak lagi tumbuh secara masif,” imbuh dia, Rabu (1/11).

Perlu ada dorongan untuk meningkatkan transaksi e-commerce. Salah satunya melalui inovasi layanan seperti live shopping dan lain sebagainya, sehingga bisa meningkatkan minat konsumen untuk berbelanja online lewat e-commerce.

Huda juga menyoroti penurunan proyeksi GMV ekonomi digital Indonesia menjadi US$ 109 miliar pada 2025. Padahal, beberapa waktu sebelumnya, tim Google, Temasek, dan Bain pernah memproyeksikan GMV ekonomi digital Indonesia bisa mencapai US$ 130 miliar pada 2025. Penurunan ini kemungkinan disebabkan tren investasi sektor digital Indonesia yang terus menurun.

“Saya mulai memandang tren pertumbuhan ekonomi digital akan kembali mengikuti tren pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun ke depan,” tandas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×