kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menilik proyek kereta cepat yang mengejar target operasional di Desember 2022


Jumat, 12 November 2021 / 20:27 WIB
Menilik proyek kereta cepat yang mengejar target operasional di Desember 2022
ILUSTRASI. Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sedang dikebut untuk mengejar target operasional pada Desember 2022.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) sedang dikebut untuk mengejar target operasional pada Desember 2022. Guna mencapai target tersebut, konsorsium proyek tengah mengurai sejumlah tantangan, mulai dari pendanaan hingga mengebut pengerjaan di lapangan.

Pemerintah pun telah turun tangan agar Proyek Strategis Nasional (PSN) ini tak lagi meleset dari target. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) siap dikucurkan untuk menyokong BUMN di konsorsium di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) Didiek Hartantyo memastikan, dana dari APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) tidak mengubah skema proyek KCJB yang merupakan Business to business (B2B). PMN diperlukan untuk memenuhi kewajiban ekuitas dasar (base equity) dari konsorsium BUMN Indonesia.

"Pemerintah mendorong lewat APBN untuk memberikan dukungan kepada BUMN, tidak ada penjaminan pemerintah. Pemerintah mendukung BUMN-nya untuk bisa melakukan proyek ini, masa nggak boleh? skema proyeknya masih tetap B2B," kata Didiek saat media visit ke Kompas Group, Jum'at (12/11).

Baca Juga: Sri Mulyani umumkan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dapat PMN Rp 4,3 triliun

Sekadar mengingatkan, untuk menggarap proyek KCJB didirikan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) pada Oktober 2015. KCIC merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd, dengan skema B2B.

Ada empat BUMN yang tergabung dalam konsorsium tersebut yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), PT Kereta Api Indonesia (Persero) alias PT KAI, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara atau PTPN VIII. Saat ini, PT KAI berperan pimpinan konsorsium BUMN menggantikan Wijaya Karya.

Didiek membeberkan, estimasi awal proyek KCJB ini menelan investasi sebesar US$ 6,07 miliar. Mayoritas investasi didanai oleh utang dari China Development Bank (CDB) senilai US$ 4,55 miliar atau 75% dari total investasi. Sedangkan 25% sisanya ditanggung oleh KCIC, yang mana Beijing Yawan menanggung 40% dan PSBI atau konsorsium BUMN Indonesia menanggung 60% dari investasi yang dipikul KCIC.

Dengan perhitungan tersebut, konsorsium BUMN Indonesia memiliki total kewajiban setoran base equity sebesar US$ 911 juta. Namun, konsorsium Indonesia baru menyetor US$ 614 juta. Artinya, ada kekurangan kewajiban base equity yang disetorkan oleh PSBI setara dengan Rp 4,36 triliun.

Rincinya, Wijaya Karya masih memiliki kekurangan setoran Rp 240 miliar, PTPN VIII sebanyak Rp 3,14 triliun, PT KAI sebesar Rp 440 miliar, dan Jasa Marga sebanyak Rp 540 miliar. "Untuk memenuhi kebutuhan (base equity) itu, keempat BUMN memiliki kesulitan masing-masing. Misalnya PT KAI pandemi ini pendapatan tertekan, karena penumpang turun. Kemampuan BUMN untuk penyetoran ekuitas menjadi susah," ujar Didiek.

Adapun mengenai permasalahan pembengkakan biaya atau cost overrun, saat ini pihak KCIC masih melakukan review dan negosiasi. Sebagaimana yang sebelumnya disampaikan, cost overrun diestimasikan tidak lebih dari US$ 1,7 miliar.

Didiek pun memastikan proses riview akan berlangsung transparan karena dihitung bersama konsultan independen serta diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Baca Juga: Hitung-hitungan Faisal Basri yang sebut kereta cepat baru bisa balik modal 139 tahun

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi menambahkan, pihaknya juga terus menggenjot efisiensi. Termasuk dengan melakukan negosiasi bersama stakeholders terkait, seperti dengan PLN dan Telkom.

"Cost overrun menjadi tanggung jawab dari BUMN, sponsor baik dari Indonesia maupun China. Tapi mestinya masih bisa di negosaisikan, bahwa CDB bisa bantu untuk turut mendanai cost overrun," ujar Dwiyana.

Kejar Target Desember 2022

Dari sisi progres pengerjaan, hingga Oktober 2021 proyek dengan rel sepanjang 142,3 kilometer ini sudah mencapai 79,31%. Pemerintah pun mematok target agar bisa beroperasi komersial alias Commercial Operation Date (COD) pada Desember 2022.

Menurut Didiek, target tersebut juga untuk menyambut penyelenggaraan Forum G20 yang akan digelar di Indonesia pada akhir tahun depan. "Saat G20 nanti, tugas ini harus selesai di tahun depan," ujarnya.

KCJB nantinya akan memiliki empat stasiun, yakni di Halim, Karawang, Padalarang dan Tegalluar. Menurut Dwiyana, penentuan stasiun KCJB ini juga mempertimbangkan pengembangan ekonomi dan kawasan yang ada di Provinsi Jawa Barat, serta mengakomodasi sistem integrasi antar moda transportasi.

"Kami ingin bisa sebanyak-banyaknya memindahkan penumpang yang selama ini menggunakan jalan raya ke kereta cepat. Dampaknya akan signifikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah dan nasional," ujar Dwiyana.

Baca Juga: Kereta Cepat Jakarta-Bandung langsung tancap gas setelah kantongi komitmen PMN

Saat ini, KCIC sedang melakukan forecasting dengan mempertimbangkan kondisi demand setelah pandemi covid-19. Hal ini diperlukan untuk memproyeksikan pola operasi KCJB serta penentuan tiket dan skema harganya.

Dalam proyeksi awal, tiket KCJB diestimasikan sebesar Rp 250.000 - Rp 350.000. "Tapi kami akan ada strategi tarif untuk menghimpun penumpang yang lebih banyak lagi. Misalnya ada diferensiasi tarif untuk hari tertentu bisa Rp 180.000. Kami juga mencoba untuk lebih melihat secara lebih riil situasi demand setelah pandemi," sebut Dwiyana.

Mengenai masa pengembalian investasi, Didiek menambahkan bahwa pihaknya masih melakukan kalkulasi. Namun dalam estimasi awal, masa balik modal ditaksir bisa mencapai 40 tahun atau tidak lebih dari masa konsesi. Berkaca dari sejumlah jalur kereta lainnya, Didiek pun yakin, KCJB akan diminati.

Dia mencontohkan, KRL Yogyakarta-Solo kini memiliki sekitar 11.000 penumpang, jauh melonjak dibanding sebelumnya yang hanya berkisar 3.000-4.000 penumpang. Begitu juga dengan KRL Jabodetabek yang memiliki penumpang sekitar 1,2 juta setiap harinya.

"Kami lagi selesaikan feasibility study-nya. tapi masalah balik modal itu kan tergantung skema tarifnya, jumlah penumpang dan pertumbuhan ekonomi setiap tahun. Kami sih optimis, harapannya kan tidak melebihi konsesi," imbuh Didiek.

Selanjutnya: Ini penyebab biaya proyek kereta cepat dan MRT membengkak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×