kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menimbang frekuensi khusus untuk jaringan 5G


Kamis, 28 Oktober 2021 / 11:06 WIB
Menimbang frekuensi khusus untuk jaringan 5G
ILUSTRASI. Telkomsel menjadi yang pertama menghadirkan jaringan 5G di Bumi Cenderawasih melalui showcase 'Telkomsel 5G Experience Center'


Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan operator selular menggelar 5G dengan menggunakan spektrum eksisting, tak lepas dari langkah pemerintah yang hingga saat ini belum menentukan frekuensi khusus yang dialokasikan untuk jaringan 5G.

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan & Regulasi Telekomunikasi ITB, Ridwan Effendi menilai, sesungguhnya ketersediaan pita potensial untuk 5G cukup banyak.

Ada di 700 MHz yang saat ini berada tahap Analog Switch Off (ASO), berdasarkan amanat UU Cipta Kerja harus beralih dari siaran analog ke digital pada November 2022.

Lanjutnya, migrasi merupakan upaya mengalokasikan digital dividen untuk kebutuhan mobile broadband sebesar 2x45 MHz, dengan potensi bandwidth yang diberikan mencapai 90 Mhz.

Lalu juga ada di 2.600 MHz, ia bilang frekuensi ini masih menunggu lisensi dari operator TV satelit berakhir dan memiliki potensi bandwidth sebesar 190 MHz.

"Dalam International Telecommunication Union (ITU) sampai 2024 pemanfaatan frekuensi ini masih diizinkan dan kemudian selanjutnya akan dimanfaatkan untuk layanan seluler,” paparnya dalam keterangan resmi, Kamis (28/10).

Baca Juga: Usai IPO, Mitratel berencana akuisisi sekitar 6.000 menara

Kemudian ada frekuensi potensial 3.300 MHz yang bakal digunakan melalui alih fungsi Broadband Wireless Access (BWA). Ia mencontohkan di negara tetangga frekuensi ini dimanfaatkan untuk layanan radar pertahanan dan cuaca.

Ahli fungsi BWA pada 3.300 MHz – 3.400 MHz untuk mobile broadband itu bisa menghasilkan potensi bandwidth hingga 100 MHz.

Selanjutnya di 3.400 MHz - 3.600 MHz yang saat ini masih digunakan satelit. Ridwan menilai untuk mendapatkan frekuensi tersebut perlu dihitung nilai bisnisnya ke depan dari layanan tersebut untuk kemudian diambil frekuensinya sebagai kebutuhan layanan seluler.

“Tentu ini juga sebagai kompensasi para pemain satelit karena akan dilakukan cut off lebih awal, jadi harus win-win solution. Frekuensi ini mainstream, Indonesia bisa melakukan hal tersebut dan melakukan relokasi demi kepentingan 5G,” tuturnya.

Selanjutnya di frekuensi 4.400 MHz masih digunakan oleh satelit non-geostationary satellite orbit (NGSO) dan wireless backhaul dengan potensi bandwidth yang dapat diperoleh sebesar 100 MHz.

Sementara untuk frekuensi 40.000 MHz masih digunakan untuk kepentingan microwave link tepatnnya di pita 37.000 MHz – 39.500 MHz dan preferensi industri pada pita 37.000 MHz-43.500 Mhz untuk keperluan 5G.

Ridwan mencatat dari potensi ketersediaan pita untuk mobile broadband, potensi bandwidth yang dihasilkan mencapai 6.561 MHz. Sedangkan total mobil broadband eksisting jika dikalkulasikan baru menyentuh angka 437 MHz.

Menurutnya, membandingkan potensi spektrum yang dapat diperoleh untuk keperluan mobile broadband dengan hasil perhitungan kebutuhan spektrum, dapat disimpulkan bahwa potensi spektrum yang dapat diperoleh, dapat memenuhi kebutuhan spektrum mobile broadband hingga 5 tahun mendatang.

"Kalaupun ada operator nanti tidak kebagian lelang frekuensi tersebut, tidak masalah juga bisa dilakukan melalui kerja sama frekuensi,” tuturnya.

Baca Juga: HP 5G Termurah hingga Termahal di Indonesia, Ini Pilihan HP 5G dari Xiaomi

Penetrasi Fixed Broadband

Sementara itu, Direktur Penataan Sumber Daya Kementerian Kominfo RI, Denny Setiawan juga menekankan tidak hanya isu spektrum, tanpa gelaran fiber optic 5G yang digadang-gadang menghadirkan kecepatan bisa terasa seperti 4G.

Ia Juga mengungkapkan bahwa pihaknya juga sedang berupaya untuk mengimplementasikan millimeter wave, meskipun hingga saat ini upaya tersebut masih menjadi opsi dan belum diputuskan hingga saat ini.

“Ini salah satu isu yang terpenting dalam sektor millimeter wave, karena tanpa fiberisasi akan susah untuk mengoptimalkan layanan 5G,” ujar Denny.

Kendati demikian, Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia (ASIOTI) Teguh Prasetya menilai penetrasi fixed broadband di Tanah Air cenderung flat pertumbuhanya.

“Yang menarik itu tren penetrasi smart home pada 2019 sudah ada 1,5 juta rumah dan saat pandemi Covid-19 tingkat adopsi smart home naik 6,35 juta di 2020, sebenarnya permintaanya tinggi untuk 70 juta rumah itu potensi besarnya Rp 13,6 triliun,” paparnya.

Baca Juga: Cashback Samsung Galaxy M52 5G di flash sale, mulai Senin (25/10), waktu terbatas

Teguh melanjutkan, dari 6,35 juta fixed broadband yang sudah menembus sekitar 8 juta rumah, 6 jutanya sudah mengadopsi smart Home. Padahal menurutnya ini bisa menjadi target pengguatan pengguna internet ke rumah.

Dia juga melihat dari segi kecepatan internet baik mobile atau fixed broadband Indonesia masih berada di bawah Vietnam, Thailand, Brunei, Myanmar, Laos, Malaysia, Kamboja, dan Filipina, dengan catatan kecepatan 14,05 Mbps.

Dengan kecepatan pemuncaknya, dipegang oleh Singapura dengan kecepatan 54,37 Mbps untuk mobile dan fixed broadband sebesar 197,26 Mbps.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×