Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan meminta supaya ada perubahan perspektif di dalam industri batubara. Dari yang semula hanya sebagai komoditas dengan skema tambang-jual, menjadi pengolahan batubara yang digunakan sebagai sumber konversi energi.
Untuk itu, Jonan kembali menyoroti pentingnya hilirisasi atau peningkatan nilai tambah batubara. Misalnya, melalui proses gasifikasi untuk mengubah batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi liquid petroleum gas (LPG), dimana 70% dari konsumsi LPG Indonesia sebesar 6,7 juta ton-6,8 juta ton per tahun dipenuhi melalui impor.
“Perspektifnya harus diubah, jangan cuman coal company, tapi harus energy company. Jadi harus ada konversinya, nilai tambah. Di China sudah jadi jet fuel. Di kita yang sederhana untuk DME, sebagai pengganti LPG,” ungkap Jonan dalam acara International Energy Agency (IEA) Coal Forecast to 2023 di Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta (18/12).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Garibaldi Thohir mengakui, hilirisasi batubara memang sangat penting dan bernilai stregis. Hanya saja, untuk saat ini, proses tersebut masih terkendala oleh pasar yang belum terbentuk dan terbentur pada skala keekonomian.
Namun, dengan berbagai kajian yang saat ini tengah dikembangkan, pria yang akrab disapa Boy Thohir tersebut menyebut bahwa hilirisasi dalam bentuk DME bisa lebih kompetitif dibandingkan LPG. “Saya rasa untuk DME, teknologi saat ini mahal, tapi makin lama makin murah. Pasar siap, pasokan ada, maka nanti kita bisa reduce impor LPG,” kata Boy.
Lebih lanjut, Boy pun sepakat bahwa batubara harus dilihat sebagai sumber energi, apalagi bauran energi dan pembangunan pembangkit listrik (PLTU) dari batubara sangat signifikan.
Sehingga, lanjutnya, prospek bisnis batubara masih cerah seiring posisi batubara yang menjadi andalan sumber kelistrikan, mengingat ketersediaan yang melimpah dan harganya yang terjangkau.
Tak hanya di Indonesia, Boy membandingkan bahwa berdasarkan data US Energy Information Administration, di Amerika Serikat batubara masih menjadi sumber pembangkit listrik terbesar kedua di dunia setelah gas, yaitu sebesar 30%. Tak jauh beda, di Jepang, porsinya mencapai 30,4%. Sementara di China, dalam upayanya meningkakan porsi energi terbarukan, hingga saat ini batubara masih mendominasi baran energinya, yakni sebesar 58%.
Karenanya, Boy menilai, sekalipun pemerintah China tengah mengontrol impor batubara thermal yang mengakibatkan fluktuasi harga dalam beberapa bulan terakhir, namun permintaan dari China akan tetap besar sebagaimana kebutuhannya terhadap batubara thermal asal Indonesia.
Apalagi, teknologi pengolahan batubara thermal semakin maju sehingga bisa menjadi rendah polusi. Misalnya dengan penggunaan teknologi baru PLTU berupa supercritical dan ultra supercritical yang sudah banyak diterapkan, khususnya di negara maju seperti AS, Jepang, Eropa, dan China. “Teknologi ini sudah digunakan, untuk mengurangi emisi CO2 dan menghemat bahan bakar,” imbuhnya.
Selain itu, Boy yang juga merupakan CEO PT Adaro Energy mengatakan bahwa batubara berkontribusi besar terhdap penerimaan negara. Pada tahun 2017 saja, subsector pertambangan mineral dan batubara (minerba) mencatatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 40,6 triliun.
Per 13 September 2018, PNBP minerba mencapai Rp. 33,55 triliun, melampaui target PNBP tahun ini yang dipatok sebesar Rp. 32,09 triliun. Capaian tersebut 70%-nya disumbangkan oleh batubara, sedangkan 30%-nya dari mineral.
Selain berkontribusi terhadap penerimaan negara, Boy juga menyebutkan bahwa berdasarkan hasil kajian Pricewaterhouse Coopers (PwC), kegiatan usaha pertambangan memiliki multiplier effect sebesar 1,6 hingga 1,9 kali terhadap penciptaan lapangan kerja. “Dmana lapangan kerja yang etrcipta tidka hanya di industri tambang batubara, namun juga di sektor industri jasa pendukung tambang lainnya,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News