Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dalam menjalankan transisi energi, Indonesia membutuhkan setidaknya US$ 97 miliar setara Rp 1,499 kuadriliun (asumsi kurs Rp 15.458 per dolar AS) hingga tahun 2030 mendatang.
Dengan kebutuhan dana yang besar itu, Indonesia telah memiliki Energy Transition Mechanism (ETM), yaitu sebuah mekanisme pembiayaan campuran yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh pihak global dalam menyelesaikan krisis iklim.
"Kami membutuhkan langkah konkret melalui Green Low-Cost Financing. Kami memberikan landasan yang kuat bagi platform negara pembiayaan ramah lingkungan melalui ETM dan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang telah kami tuangkan dalam Comprehensive Investment & Policy Plan (CIPP)," kata Sri Mulyani dalam keterangan resmi, Senin (4/12).
Dia turut mengapresiasi dukungan nyata dari pihak global dalam mewujudkan transisi energi di Indonesia. Ia menargetkan, kesepakatan yang diteken oleh Indonesia, khususnya PT PLN pada momen COP28 di Dubai bisa segera dieksekusi dalam dua tahun ke depan.
Baca Juga: Sebagai Negara Besar, Jokowi: Pembangunan Infrastruktur Menjadi Kebutuhan
"Ini merupakan langkah awal yang saya harapkan bisa menjadi hal nyata dalam satu dua tahun ke depan. Terima kasih atas dukungan semua pihak dalam kepercayaannya bekerja sama dengan Indonesia dalam memitigasi krisis iklim," kata Sri Mulyani.
Di sisi lain, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang investasi yang besar untuk bertransisi energi perlu didukung dengan kebijakan yang mendukung. Indonesia semestinya dapat mengeluarkan kebijakan dan komitmen yang lebih ambisius dengan semakin sempitnya waktu untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris.
Berdasarkan laporan diskusi Inventarisasi Global atau Global Stocktake UNFCCC tahun 2023, komitmen negara-negara di dunia yang tercantum pada NDC-nya tidak sejalan dengan Persetujuan Paris. Hal ini akan menyulitkan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 43% di 2030 dari tingkat emisi 2010 dan 60% di 2035 dan nir emisi pada 2050.
Tidak hanya itu, dengan target NDC yang disampaikan pada COP27, suhu bumi pada 2050 diperkirakan melampaui target Persetujuan Paris.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyampaikan, Indonesia perlu menyampaikan target penurunan emisi yang lebih ambisius dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim dalam Second NDC (SNDC) yang rencananya akan disampaikan 2025.
Baca Juga: PLN Teken Empat Kesepakatan Penting di COP 28, Ini Rinciannya
Agar selaras dengan target 1,5°C, tingkat emisi pada 2030 harus maksimal 850 juta ton untuk seluruh sektor. Sementara itu, di sektor kelistrikan, transisi energi ditandai dengan target 44% bauran energi terbarukan di 2030.
“Meskipun target bauran energi terbarukan tersebut tercapai, belum dapat membuat emisi sektor kelistrikan mencapai level di bawah 200 juta ton CO2, sesuai dengan jalur 1,5°C. Untuk itu, selain penambahan energi terbarukan, masih diperlukan pengakhiran operasi PLTU, 8 sampai 9 GW sebelum 2030 untuk menurunkan emisi pada level tersebut,” ujarnya.
Pada 2025, Indonesia perlu meningkatkan ambisinya dalam Enhanced NDC yang saat ini hanya membidik target penurunan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri (unconditional) dan 43,2% dengan bantuan internasional (conditional) pada tahun 2030. Target ini dibuat dengan membandingkan proyeksi business as usual (BAU) 2010.
Sementara, IESR dengan menggunakan proyeksi dari data emisi tahun 2020, menemukan bahwa Indonesia dapat menetapkan target ambisi iklim tanpa syarat (unconditional NDC) sebesar 26% hingga 2030.
Peningkatan target ambisi ini lebih tinggi dari target saat ini dan bertujuan agar Pemerintah Indonesia dapat tetap menetapkan target ambisi iklim yang lebih relevan untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris agar pemanasan global tidak melebihi 1,5°C.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News