Reporter: Ahmad Febrian, Danielisa Putriadita | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proses penggabungan Indosat Ooredoo dan 3 Indonesia (H3I) terus bergulir. Mengutip rilis bersama kedua perusahaan, merger menyatukan dua bisnis yang saling melengkapi. Keduanya menciptakan sebuah perusahaan telekomunikasi digital dan internet lebih besar dan lebih kuat secara komersial,
Dengan nama baru Indosat Ooredoo Hutchison, emiten berkode saham ISAT ini akan menjadi perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia. Perkiraan pendapatan tahunan hingga US$3 miliar.
Indosat Ooredoo dan H3I memiliki infrastruktur yang saling melengkapi dan penggabungan kedua asetnya akan membuat perusahaan gabungan mendapatkan keuntungan dari sinergi biaya dan belanja modal (capex)
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB,) Muhammad Ridwan Effendi menilai, dengan merger tentu kekuatan modal bertambah. “Semoga masing-masing pihak berkomitmen menggelontorkan modal untuk membangun. Sehingga bisa mnlakukan akselerasi transformasi ekonomi digital,” kata Ridwan ke Kontan.co.id, Rabu (29/9).
Modal ini amat penting mengingat industri telekomunikasi Indonesia baru saja memasuki era 5G. “Dan jaringan 5G tidak bisa berdiri sendiri. Dia membutuhkan fiber optik untuk interkoneksi BTS (RAN) ke core network,” terang Ridwan.
Kekuatan finansial keduanya memberikan kesempatan lebih besar untuk membangun tidak hanya infrastruktur. Tetapi tapi juga transformasi digital yang lebih luas. Apalagi di era sekarang ini, operator telekomunikasi tidak bisa lagi hanya berbisnis jaringan. Tapi harus melakukan transformasi bisnis.
Dalam mengembangkan layanan 5G, perusahaan hasil merger ini sangat siap karena memiliki frekuensi yang sangat cukup. Penggabungan Indosat dan tri menggenggam frekuensi sebesar 72,5 MHz. Terdiri atas frekuensi 900 MHz (2 X 12,5), frekuensi 1800 MHz (2 X 20, 2 X 10), dan frekuensi 2100 MHz (4 X 15).
Soal spektrum Indosat Ooredoo dan 3 Indonesia menurut Ridwan tidak bisa serta merta digabungkan. “Harus ada evaluasi efektivitas dan efisiensi frekuensi dari masing-masing operator dan dari entitas baru hasil merger,”lanjut Ridwan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Komisi Pengawas Persangan Usaha (KPPU) berhak menentukan seberapa besar frekuensi yang boleh dimiliki dan berapa yang harus dikembalikan ke negara.
Analis RHB Sekuritas Indonesia, Michael Wilson Setjoadi melihat, contoh efisiensi yang terjadi setelah ISAT merger adalah penurunan biaya sewa tower. Michael mencatat, sekitar 20%-25% tower ISAT tumpang tindih dengan tower 3 Indonesia. Ke depan ISAT bisa merelokasi menara yang saling tumpang tindih.
Efisiensi juga bisa terjadi pada penurunan sewa peralatan dan gaji pegawai. Menurut Michael, pengeluaran untuk gaji pegawai di industri telekomunikasi porsinya cukup besar di 60%. "Fixed cost bisa menurun dengan adanya merger," kata Michael.
Di satu sisi, besaran proyeksi sinergi sebesar US$ 300 juta-US$ 400 juta berpotensi menurun. Menurut, Michael target tersebut bisa menurun bila pemerintah tidak menyetujui penggabungan spektrum ISAT dengan H31 hingga 100%.
"Persoalan jatah spektrum masih perlu persetujuan pemerintah. Jika ada spektrum yang harus dikembalikan maka cost saving yang diproyeksikan mencapai US$ 300 juta berpotensi berkurang untuk menyewa tower baru bila spektrum yang digunakan penuh," kata Michael.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News