Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi wajib pasok batubara atau Domestic Market Obligation (DMO) masih minim. Berdasar data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga pertengahan Oktober 2019, realisasi DMO baru mencapai 74,59 juta ton atau 58,26% dari target yang pada tahun ini diproyeksikan sebesar 128,04 juta ton.
Kendati realisasi batubara DMO masih mini, kebutuhan emas hitam untuk kelistrikan diklaim masih aman. Menurut Kepala Divisi Batubara PT PLN, Harlen, realisasi pasokan batubara untuk kelistrikan masih sesuai target.
Harlen menerangkan, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PLN dan Independent Power Producer (IPP) sudah menyerap 72 juta ton batubara sepanjang Kuartal III-2019. Jumlah itu setara dengan 75% dari pemenuhan batubara untuk kelistrikan tahun ini yang dipatok sebesar 96 juta metrik ton.
Baca Juga: Berikut sederet pekerjaan rumah untuk Menteri ESDM baru di sektor minerba
Dari jumlah tersebut, Harlen merinci volume pemakaian batubara untuk PLTU milik PLN dan anak usaha mencapai 48,5 juta metrik ton. Sementara untuk PLTU milik IPP sebanyak 23,5 juta metrik ton.
Harlen mengklaim, cadangan alias stock rata-rata batubara untuk PLTU masih bisa bertahan sekitar 20 hari alias dalam keadaan aman. "Realisasi hingga September 72 juta metrik ton, stock normal," kata Harlen saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (22/10).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan bahwa tidak ada kekurangan (shortage) terhadap pasokan batubara dalam negeri. Jika realisasi DMO masih minim, sambung Hendra, hal itu lantaran kebutuhan dan serapan batubara untuk kebutuhan industri domestik memang stagnan.
Baca Juga: Mitrabara Adiperdana (MBAP) kejar produksi 4 juta ton tahun ini
Alhasil, penyerap batubara domestik masih tetap mengandalkan sektor kelistrikan. "Realisasi dari industri semen dan industri lainnya masih belum tinggi seperti yang diproyeksikan di awal," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Selasa (22/10).
Senada dengan itu, Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan bahwa PLTU masih menjadi tulang punggung penyerapan batubara di dalam negeri. Pertumbuhan industri yang stagnan akan memengaruhi serapan emas hitam domestik.
"Sebagian DMO terserap di sektor kelistrikan. Jika industri stagnan, secara makro bisa jadi kebutuhan energi menurun," ungkap Singgih.
Asal tahu saja, serapan batubara domestik paling tinggi ialah untuk kebutuhan PLTU. Pada tahun lalu, dari total realisasi DMO sebesar 115,09 juta ton, batubara yang diperlukan untuk menyalakan PLTU mencapai 91,14 juta ton.
Harga Khusus US$ 70 per ton
Sementara itu, Hendra Sinadia masih menyoroti sejumlah masalah dalam realisasi DMO batubara. Yakni mengenai besaran volume atau persentase wajib DMO, serta harga batubara untuk kelistrikan yang dipatok US$ 70 per ton.
Baca Juga: Duh! Ekspor Emiten Batubara Menurun
"APBI mengusulkan agar besaran DMO dipertimbangkan kembali agar dapat lebih realistis mendekati demand aktual," sebutnya.
Sampai akhir tahun ini, pasokan batubara untuk kelistrikan masih dipatok dengan harga US$ 70 per ton. Namun, hingga saat ini, keberlanjutan dari harga patokan batubara ini masih belum ditentukan lantaran masih menunggu kebijakan dari Menteri ESDM di kabinet baru.
Menurut Hendra, harga US$ 70 per ton sudah tak relevan lantaran harga batubara masih terus melemah. Terakhir, Harga Batubara Acuan (HBA) dipatok US$ 64,8 per ton, atau menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir. "Itu sudah lebih rendah dari HBA khusus (untuk listrik)," ungkap Hendra.
Baca Juga: Geo Energy Group Mengakuisisi Dua Tambang Batubara di Sumatra Selatan
Namun, pihak PLN menginginkan agar harga khusus tersebut bisa terus berlanjut pada tahun depan. Meski tren harga emas hitam mengalami penurunan, namun Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani menilai, harga khusus tersebut diperlukan untuk menjamin kepastian dalam pengadaan batubara PLN.
"Kan kita nggak tahu bagaimana ke depan, apakah supply dan demand seperti sekarang sehingga harga turun, atau tidak. Artinya itu kan (bergantung) pasar luar," ungkapnya beberapa waktu lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News