Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
"Sebagian DMO terserap di sektor kelistrikan. Jika industri stagnan, secara makro bisa jadi kebutuhan energi menurun," ungkap Singgih.
Asal tahu saja, serapan batubara domestik paling tinggi ialah untuk kebutuhan PLTU. Pada tahun lalu, dari total realisasi DMO sebesar 115,09 juta ton, batubara yang diperlukan untuk menyalakan PLTU mencapai 91,14 juta ton.
Harga Khusus US$ 70 per ton
Sementara itu, Hendra Sinadia masih menyoroti sejumlah masalah dalam realisasi DMO batubara. Yakni mengenai besaran volume atau persentase wajib DMO, serta harga batubara untuk kelistrikan yang dipatok US$ 70 per ton.
Baca Juga: Duh! Ekspor Emiten Batubara Menurun
"APBI mengusulkan agar besaran DMO dipertimbangkan kembali agar dapat lebih realistis mendekati demand aktual," sebutnya.
Sampai akhir tahun ini, pasokan batubara untuk kelistrikan masih dipatok dengan harga US$ 70 per ton. Namun, hingga saat ini, keberlanjutan dari harga patokan batubara ini masih belum ditentukan lantaran masih menunggu kebijakan dari Menteri ESDM di kabinet baru.
Menurut Hendra, harga US$ 70 per ton sudah tak relevan lantaran harga batubara masih terus melemah. Terakhir, Harga Batubara Acuan (HBA) dipatok US$ 64,8 per ton, atau menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir. "Itu sudah lebih rendah dari HBA khusus (untuk listrik)," ungkap Hendra.
Baca Juga: Geo Energy Group Mengakuisisi Dua Tambang Batubara di Sumatra Selatan
Namun, pihak PLN menginginkan agar harga khusus tersebut bisa terus berlanjut pada tahun depan. Meski tren harga emas hitam mengalami penurunan, namun Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani menilai, harga khusus tersebut diperlukan untuk menjamin kepastian dalam pengadaan batubara PLN.
"Kan kita nggak tahu bagaimana ke depan, apakah supply dan demand seperti sekarang sehingga harga turun, atau tidak. Artinya itu kan (bergantung) pasar luar," ungkapnya beberapa waktu lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News