Reporter: Juwita Aldiani | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Di tengah kondisi harga minyak yang sedang terjun bebas, sebagian perusahaan minyak dan gas menunda atau bahkan menghentikan aktivitas eksplorasi.
Seperti halnya anak usaha dari PT Pertamina (Persero) yaitu PT Pertamina Hulu Energy (PHE) yang mengalami decline produksi dan banyaknya rencana kerja sumur yang tidak ekonomis dilaksanakan.
Akibat harga minyak yang kian menurun, target produksi minyak dan gas (migas) PHE juga mengalami penurunan dari tahun lalu. Tahun ini, PHE membuat rencana kerja dan anggaran (RKAP) untuk produksi minyak bisa mencapai 63,9 juta barel minyak ekuivalen per hari (mboepd) dan produksi gasnya mencapai 652 juta kaki kubik per hari (mmscfd).
Meski begitu, pencapaian produksi migas di tahun lalu melebihi target RKAP 2015 yaitu sekitar 66,3 mboepd dan 678 mmscfd.
Sementara untuk offshore north west java (ONWJ) yang PHE bertindak sebagai operatornya, menargetkan dapat memproduksi sekitar 37.300 barel per hari (bph) dan gas 163 mmscfd.
Lalu, untuk west Madura offshore PHE menargetkan bisa memproduksi minyak sekitar 10.025 bph dan gas 102,6 mmscfd.
Direktur Utama PHE Gunung Sardjono Hadi menyebut belanja modal tahun ini awalnya dianggarkan sekitar US$ 686 juta dengan asumsi harga minyak di angka US$ 50 per barel. Namun, melihat kondisi harga saat ini, PHE akan melakukan review kembali agar kegiatan pemboran yang dilakukan masih ekonomis.
“Yang harus kita perhatikan adalah biaya-biaya yang direct to produksi. Jika kita mau melakukan pemboran betul-betul itu akan menghasilkan minyak dan gas dan betul-betul ekonomis,” kata Gunung pada Kamis (14/01).
Gunung mengklaim biaya post produksi offshore ini secara keseluruhan cukup variatif. Saat ini, rata-rata biaya produksi migas PHE masih US$ 20 per barel. PHE juga mengupayakan bagaimana mengurangi biaya-biaya yang tidak langsung ke produksi minimal 30%.
Efisiensi juga dilakukan oleh PHE seperti mengurangi jam kerja yang biasanya dimulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 18.00, sekarang menjadi dari pukul 07.00 hingga 17.00. Lalu mengurangi sewa gedung kantor yang terlalu banyak dan membatasi kegiatan rapat di luar kota.
Namun, efisiensi pengurangan karyawan kata Gunung itu termasuk alternatif yang terakhir.
Masih terganjal
Sementara untuk blok Nunukan yang dioperasikan oleh PHE saat ini dalam tahap persetujuan rencana pengembangan wilayah (POD) dari Kementerian ESDM. Target produksi gas di Nunukan adalah sekitar 60 mmscfd gasnya.
“Sebelumnya kami berharap Nunukan bisa onstream pada 2019 mendatang jika POD disetujui tahun ini. Namun dengan kondisi sekarang ini kami tidak bisa menjawab secara pasti, “ ujar Gunung.
Hal tersebut lantaran untuk pengembangan lapangan gas itu tidak mudah, PHE harus tahu siapa pembelinya. Serta berapa harga jual yang disepakati antara Pertamina dengan PT PLN (Persero) sebagai pembeli tetap.
Selain Nunukan, PHE juga sedang menunggu keputusan dari PLN terkait harga jual gas yang baru di blok ONWJ karena kontraknya telah habis pada Januari tahun lalu. Sembari menunggu keputusan, hingga saat ini proses jual beli gas masih menggunakan harga lama yaitu sekitar US$ 6.
Asal tahu, saat ini volume produksi gas di ONWJ sekitar 180 – 200 mmsfcd. Dan sejumlah 100 mmscfd dijual ke PLN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News